sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengikis beban psikologis pasien Covid-19

Tak hanya memulihkan kondisi fisik, pasien Covid-19 pun berjuang untuk tidak stres karena diisolasi.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Rabu, 23 Sep 2020 06:35 WIB
Mengikis beban psikologis pasien Covid-19

“Saya stres. Ya, karena keadaan baru aja sih dan enggak ada penjenguk,” kata Hendaru Tri Hanggoro saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (17/9).

Selama sembilan hari—dari 22 hingga 30 April 2020—Hendaru dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit (RS) Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19.

Kondisi tertekan dialami Hendaru di hari pertama. Selama tujuh hari, ia hanya sendirian di ruang isolasi berukuran sekitar 8 x 8 meter, sebelum di hari berikutnya masuk beberapa pasien Covid-19. Tekanan psikologis muncul kembali karena ia diberi obat chloroquine, yang masih dalam tahap uji coba untuk pasien Covid-19.

“Jadi kebayang tentang berita orang yang mati karena minum choloroquine,” ujarnya.

Pengecekan oleh dokter dilakukan setiap pukul 10.00 WIB. Namun, komunikasi sangat minim. Percakapan lebih banyak dilakukan melalui grup WhatsApp yang terhubung ke tenaga kesehatan di rumah sakit itu.

Untuk mengatasi kebosanan, jurnalis di sebuah media di Jakarta itu kerap berkomunikasi dengan keluarga dan kenalan melalui ponsel dan media sosial. Ia pun mengutamakan banyak beristirahat dan mengurangi beban pikiran.

“Membaca sesuatu yang enggak berhubungan dengan Covid-19 juga membantu. Saya menghindari perdebatan soal itu. Intinya mesti happy atau berpikir bagus,” ucapnya.

Selama dirawat di RS Pasar Minggu, Hendaru mengaku belum pernah mendapatkan layanan psikologis. Ia juga tak tahu ada atau tidaknya layanan tersebut.

Sponsored

“Tapi pasti akan diberikan jika kita meminta,” ucap Hendaru.

Petugas mengendarai ambulans berisi pasien memasuki RSD Covid-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Selasa (24/3/2020). Foto Antara/Aditya Pradana Putra

Pasien rentan masalah psikis

Mutiara Tirza memiliki kondisi tak jauh berbeda dengan Hendaru. Mantan pasien Covid-19 ini pernah menjalani isolasi di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, selama enam hari—27 Mei hingga 2 Juni 2020.

Selama menjalani perawatan, warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, berusia 23 tahun itu mengaku menerima pelayanan yang baik dari tenaga kesehatan di Wisma Atlet. Menurut Mutiara, pasien yang membutuhkan konseling psikologis pun sangat terbantu.

“Tim psikolog selalu mengumumkan melalui corong suara untuk dapat menghubungi perawat yang bertugas,” kata Mutiara saat dihubungi, Jumat (18/9).

Demi menjaga kesehatan mentalnya, Mutiara mengaku jarang membaca pesan di grup WhatsApp, kecuali yang terkait dengan keluarga dan perawatan di Wisma Atlet. Ia pun membatasi akses membuka media sosial.

“Lebih banyak waktu untuk istirahat,” katanya.

Mantan pasien Covid-19 lainnya, Triadi Noor, mengatakan bahwa di Wisma Atlet disediakan waktu untuk konsultasi dengan psikolog. Pria berusia 52 tahun yang dirawat dari 28 Agustus hingga 5 September 2020 itu pun pernah berkonsultasi dengan psikolog di Wisma Atlet.

Triadi sempat terganggu memikirkan di mana dan kapan ia tertular virus. Lalu, psikolog menyarankan agar ia tak lagi mengingat-ingat kejadian itu.

“Karena malah bikin pusing sendiri kalau mikirin siapa yang nularin,” kata mantan pasien Covid-19 berstatus orang tanpa gejala (OTG) itu saat dihubungi, Jumat (18/9).

Pasien Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Data dari Covid19.go.id menunjukkan, per 21 September 2020 jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 248.852 orang, dengan kematian sebanyak 9.677 orang dan kesembuhan sebanyak 180.797 orang.

Selain harus menjaga kondisi tubuhnya agar selalu bugar, pasien Covid-19 pun penting menjaga kesehatan mental atau psikisnya. Ketika isolasi, pasien Covid-19 rentan memiliki masalah psikologis karena kesepian atau kecemasan berlebih.

RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran, DKI Jakarta. Foto Antara/Aditya Pradana Putra.

Sebuah riset yang ditulis Murray B. Stein berjudul “Coronavirus disease 2019 (Covid-19): Psychiatric illness” dipublikasikan Uptodate.com mengungkapkan, beberapa penelitian tentang epidemi Covid-19 menyatakan banyak pasien punya gejala dan gangguan kejiwaan.

Ia membandingkan hal ini dengan sebuah riset sistematis yang meneliti masalah kejiwaan pasien rawat inap di rumah sakit karena SARS atau sindrom pernapasan Timur Tengah—60 studi, lebih dari 2.500 kasus.

Hasil penelitian itu menunjukkan, selama mengalami infeksi akut, sekitar 20% hingga 40% pasien mengalami gejala neuropsikiatrik dari delirium, seperti insomnia (42%), gangguan konsentrasi (38%), kecemasan (36%), gangguan memori (34%), suasana hati tertekan (33%), kebingungan (28%), dan kesadaran yang berubah (21%).

Tak jarang, pasien Covid-19 melakukan aksi nekat bunuh diri. Misalnya, pada 9 September 2020 seorang pasien Covid-19 berusia 42 tahun melompat dari tower enam RSD Wisma Atlet. Kejadian itu bukan pertama kali. Pada 3 September 2020, seorang pasien Covid-19 berusia 53 tahun juga melompat dari lantai 13 RS Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Ketika dihubungi, koordinator RSD Wisma Atlet Kolonel Stefanus Dony tak menyebut ada atau tidaknya tahapan pengecekan awal psikologis pasien Covid-19 yang masuk ke Wisma Atlet. Ia hanya mengungkapkan, upaya menjaga kesehatan fisik dan psikologis merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dalam penanganan pasien.

Setiap pasien, kata Stefanus, harus melalui pengecekan kesehatan terlebih dahulu. Dari situ, lantas dikategorikan sebagai pasien Covid-19 dengan gejala ringan, sedang, atau tanpa gejala. Bagi pasien yang membutuhkan layanan psikologis, ia mengatakan, RSD Wisma Atlet menyediakan fasilitas tersebut.

“Konsultasi online dan tatap muka tersedia. Konseling tatap muka diadakan setiap Kamis saja karena sedikit jumlah tenaga psikolognya. Ada delapan orang psikolog,” kata Stefanus saat dihubungi, Jumat (18/9).

Sejauh ini, RSD Wisma Atlet memiliki tiga tower untuk menampung pasien Covid-19, yakni tower lima, enam, dan tujuh. Tower empat dibuka untuk mengantisipasi lonjakan pasien. Seiring dengan pembukaan tower empat, Stefanus mengungkapkan, pihaknya juga sedang mempersiapkan tambahan dua orang tenaga psikolog.

“Dua personel psikolog tambahan itu mengacu ketersediaan dari data PPSDM (Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia) Kemenkes,” ujarnya.

Stefanus tak membantah jika tekanan mental bisa saja dialami pasien Covid-19 selama berada di ruang isolasi. Karenanya, selain disediakan tenaga psikolog, para tenaga kesehatan yang bertugas dibekali kemampuan dan motivasi agar maksimal menjalankan pelayanan.

“Setiap hari, secara rutin dan terjadwal, para nakes (tenaga kesehatan) berbagi tugas untuk melakukan kunjungan pasien, juga melakukan sapa pagi dan penyegaran atau ice breaking,” kata dia.

“Diharapkan cara-cara itu turut mempercepat pemulihan pasien.”

Cara menanganinya

Sementara itu, Ketua Satuan Tugas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanggulangan Covid-19 Annelia Sari Sanie Anne mengatakan, kesiapan tenaga psikolog sudah terkoordinasikan melalui Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).

“Saat ini, jumlah psikolog klinis di bawah Ikatan Psikolog Klinis Indonesia sebanyak 2.752 orang,” tutur Annelia saat dihubungi, Selasa (15/9).

Ia menuturkan, dukungan konseling psikologis mesti disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing orang. Namun, Annelia menampik kondisi di dalam ruang isolasi bisa menimbulkan tekanan mental berlebih bagi pasien.

“Kita tak bisa mengambinghitamkan ruang isolasi sebagai penyebab kondisi seperti itu. Kalau ada yang melakukan tindakan mencelakai diri sendiri itu pasti sudah ada faktor-faktor bawaannya,” ujarnya.

“Jadi sebelum Covid-19 pun, dia pasti sudah bermasalah (secara psikologis).”

Meski begitu, ia tak membantah ruang isolasi akan membuat pasien tak bisa berinteraksi sosial dengan keluarga dan teman. Akan tetapi, kata dia, komunikasi bisa tetap terjalin dengan memanfaatkan teknologi.

“Contohnya dengan video call atau conference call,” ucapnya.

“Maka kecemasan pun semestinya bisa dikurangi.”

Dihubungi terpisah, psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menilai, penanganan psikologis bagi pasien yang diisolasi tetap dibutuhkan, tergantung kondisi masing-masing orang.

Menurutnya, kepatuhan dan sikap kooperatif pasien mengikuti saran dan petunjuk dokter menjadi kunci utama. Adapun, ahli psikolog klinis berperan mendampingi dan memberi dukungan mental.

“Demi memaksimalkan proses penyembuhan, peran psikolog klinis dalam proses penyembuhan kerap dilibatkan untuk mendampingi pasien,” kata dia saat dihubungi, Minggu (20/9).

Infografik kasus bunuh diri pasien Covid-19. Alinea.id/MT Fadillah.

“Selain dukungan psikologis, juga dapat memberikan beberapa teknik psikoterapi sesuai kebutuhan atau kondisi pasien.”

Kasandra mengatakan, pasien Covid-19 yang melakukan konseling psikologis akan mendapatkan pengarahan dari dokter ahli psikolog klinis yang merawatnya. Akan tetapi, menurut dia, frekuensi konseling yang dijalani tak dapat ditentukan dengan mudah dalam jangka waktu tertentu.

“Juga tidak setiap kasus memungkinkan untuk dilakukan penanganan psikologis,” tuturnya.

“Karena setiap kasus unik dan memerlukan koordinasi antara setiap tenaga kesehatan yang bertanggung jawab dalam melakukan perawatan.”

Ia menyarankan, setiap pasien Covid-19 yang memiliki kondisi fisik cukup baik, perlu melakukan sejumlah aktivitas rohani yang sederhana. Tak kalah penting, pasien Covid-19 juga perlu berusaha mengalihkan pikiran pada hal-hal yang positif.

“Seperti kegiatan berdoa, menggambar, membaca buku atau kitab suci, mendengarkan musik, atau menonton film ringan,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid