alinea interactive report

GEREJA DITENGAH MODERNISASI

Please Wait ...

logo utama

Dunia makin digital. Disrupsi telah mengubah gaya hidup manusia. Gereja mengantisipasi perkembangan ini agar tidak menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan iman jemaat.

kristen ktp title
circle

Geliat gereja dalam era digital

Uwu, bukan nama terangnya, merasa murung saat Malam Natal, Selasa (24/12).

Uwu mengaku masih terombang-ambing dalam menjalani iman kepercayaannya. Kepada reporter Alinea.id, Uwu mengungkapkan, hingga menjelang batas semester akhir masa studinya di sebuah kampus negeri di Yogyakarta, dia mengalami banyak problem. Kesulitannya seputar penyusunan tugas akhir yang tidak kunjung tuntas berkelindan dengan masalah percintaan.

Jika sudah benar-benar penat, dia baru berpaling mendatangi ibadat misa dalam tatanan Gereja Katolik.

“Aku hanya datang (ke Gereja) ketika galau dan mentok banget,” ucapnya, dihubungi Selasa malam (24/12).

Sebagai bagian dari kalangan milenial, Uwu mengungkapkan salah satu cerminan pemeluk Kristiani yang “periodik” atau hanya pada masa-masa tertentu. Dia menyebutkan kehadirannya dalam ibadat Natal merupakan sebuah kesempatan utama yang tak dilewatkannya. Namun, katanya, setahun ini dia menghadiri misa hanya dalam hitungan jari.

“Aku bukan umat yang taat. Pernah dalam tiga bulan penuh, aku ikut misa setiap minggu. Enggak tentu. Tapi tiap tahun pasti ibadah Natal, sih,” katanya.

Jauh dari orangtua dan keluarga, Uwu tinggal di sebuah indekos. Malam Natal kali ini pun dihadirinya bersama seorang teman indekosnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, dia biasa menghadiri ibadah perayaan Natal bersama keluarga besarnya.

“Natal yang tidak bersemangat,” ujarnya.

Menurut Josafat Kokoh Prihatanto, kecenderungan kaum muda Kristiani yang beranjak meninggalkan aktivitas rohani ke gereja disebabkan banyak faktor. Namun, jika ditilik dari karakter kaum muda yang cenderung dinamis, Josafat mengamati ada kemandekan gereja untuk menyediakan fungsinya sebagai rumah yang nyaman bagi umatnya.

“Gereja belum maksimal sebagai tempat yang penuh rahmat. Gereja sekadar bersifat menjalankan fungsi saja, at house, belum menjadi at home bagi umat,” katanya, ketika ditemui Alinea.id, Jumat (20/12).

Josafat yang banyak menjalankan pewartaan melalui media sosial sejak 2013 ini menggambarkan kekurangan banyak gereja di kota-kota besar yang hanya menekankan pada aspek seremonial ibadah.

Akibatnya, muncul kebiasaan sebagian umat yang hanya mengikuti ibadat perayaan ekaristi atau misa pada masa-masa tertentu. Dia menyimpulkannya menjadi sebuah akronim yang unik: “Napas Nikmat”.

foto

Akronim itu menjelaskan pola umat yang “tidak taat” dengan hanya datang ke gereja saat hari raya Natal, Paskah, upacara pernikahan, dan upacara kematian.

“Dari pengalaman saya, sebagian orang Katolik mencari saya kalau pas hari raya besar, Natal, Paskah, nikah, dan mati,” ucapnya.

Secara otokritik, Josafat menegaskan, peran gereja masih belum maksimal menyelenggarakan peran sosial bagi umat di luar keperluan sebagai tempat beribadah. Hal inilah, yang menurutnya, membangun pemikiran atau kerohanian umat terbatasi menjalankan ibadat sebatas rutinitas.

Aspek kebutuhan hati atau rohani yang dalam sebagai manusia yang butuh disapa oleh imam atau kaum biarawati menjadi kurang diutamakan. Padahal kaum muda, ungkapnya, tak sedikit mencari pemenuhan aspek spiritualitasnya dalam hidup di perkotaan.

Dia menggarisbawahi, pola pendekatan gereja mesti menyesuaikan karakter dan pola pikir pemuda yang cenderung dinamis atau luwes.

“Anak muda bukan tidak suka soal spiritualitas, melainkan tidak suka dengan kekakuan lembaga agamanya. Mereka lebih suka mencari passion yang lebih dalam, menemukan Tuhan dalam hal-hal kecil, mereka butuh yang lebih dalam daripada sekadar agama,” kata Josafat.

Pihak institusi gereja sesungguhnya telah berupaya menggaet perhatian kalangan muda Kristiani untuk lebih aktif dalam aktivitas gerejani. Dari institusi perwakilan pemeluk keyakinan Kristen di bawah Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Abdiel Fortunatus menengarai lemahnya pendekatan personal dari setiap pengurus Gereja Kristen kepada jemaatnya. Hal ini, kata dia, menghambat keakraban relasi antara jemaat dan orang-orang yang menjabat pada tatanan kepengurusan gereja.

“Gereja terjebak pada seremonial ibadat, tapi mengabaikan esensi bersekutu, yaitu relasi antara jemaat dengan majelis gereja,” kata Abdiel ketika dihubungi Rabu (25/12).

Abdiel selaku Kepala Biro Pemuda PGI menuturkan, prinsip gereja sebagai persekutuan relasi orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus itu berakar dari tradisi jemaat perdana pada zaman Santo Paulus. Bersumber pada kisah alkitab Perjanjian Baru, rasa senasib sepenanggungan dan solidaritas menjadi spirit yang mengukuhkan tali persaudaraan jemaat.

Sayangnya, kata Abdiel, anggota jemaat dan pihak institusi Gereja Kristen masih sering tersekat oleh kedudukan fungsional ataupun generasi. Hal itu terutama terkait kekakuan dalam aktivitas gereja yang menekankan seremonial peribadatan.

“Rutinitas ibadat itu membuat ada polarisasi antara jemaat dan institusi gereja,” ujarnya.

Senada dengan Josafat, Abdiel menilai relasi hangat jemaat dan majelis (pengurus gereja dan pendeta) sangat menentukan kenyamanan dan keajekan jemaat untuk menghadiri peribadatan di gereja. Abdiel pun membayangkan kondisi itu sebagai sebuah keluarga atau komunitas yang perlu diperhatikan di samping penyediaan sarana fisik ibadat.

“Yang selalu bikin kita ingin pulang ke rumah itu adalah kualitas relasi kita dengan orangtua dan saudara di rumah. Namun bila relasi antara orangtua dan anak kurang harmonis, bisa membuat kita jarang pulang ke rumah,” ujar Abdiel.

Abdiel juga mengungkapkan, PGI sebatas memberikan usulan atau saran kepada jemaat dan majelis masing-masing Gereja Kristen. Adapun pengelolaan, perawatan, dan kegiatan kerohanian diatur sepenuhnya berdasarkan otoritas masing-masing majelis gereja setempat.

Mengacu data PGI, Abdiel menjelaskan populasi jemaat Gereja Kristen belakangan didominasi generasi milenial dan Y. Sementara klasifikasi generasi Baby Boomers atau X dalam Gereja Kristen umumnya menempati posisi struktural selaku majelis atau pengurus gereja.

“Inilah yang membuat ada keterpisahan atau jarak antara kaum Baby Boomers dan generasi milenial juga Y,” kata dia.

Akibatnya, beberapa program atau kegiatan di masing-masing Gereja Kristen lantas tak mampu membangun keterlibatan aktif jemaat. Dalam Sidang Raya Sinoda PGI 8-13 November 2019 lalu misalnya, Abdiel mencatat gagasan lain.

“Gereja mulai berpikir ibadah kreatif (dengan tata cara kreatif) itu tidak semata bisa membangun keterlibatan jemaat. Itu tidak mengubah niat orang untuk bersekutu. Namun, lebih penting membuat gereja sebagai ‘rumah’ untuk mengembangkan relasi jemaat,” kata dia.

Sementara itu, di Konferensi Waligereja Indonesia sebagai perwakilan yang memayungi Gereja-Gereja Katolik di Indonesia, menjalankan kegiatan pemberdayaan kaum muda Katolik melalui sejumlah program acara berkala. Di tingkat nasional, pertemuan Orang Muda Katolik (OMK) diwujudkan dalam event Indonesian Youth Day (IYD).

Pastor RD Antonius Haryanto, Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia mengatakan, kegiatan ini bertujuan mengembangkan diri bagi kalangan muda, serta menumbuhkan kepekaan sosial dan solidaritas atas tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Beberapa tantangan itu antara lain kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, penyalahgunaan narkoba, ketimpangan ekonomi, dan konflik sosial.

Dalam pelaksanaan IYD kedua pada 2016 lalu, peserta orang muda dengan rentang usia 18–35 tahun dan yang belum menikah melakukan tinggal bersama dalam keluarga-keluarga yang berbeda agama. Di samping itu, kerja sama dengan berbagai lembaga diadakan melalui Temu Kebangsaan Orang Muda sejak 2016.

Kemajuan teknologi dalam sarana komunikasi di sisi lain turut dimanfaatkan oleh Komisi Kepemudaan KWI untuk menggelar kegiatan pelatihan bagi para pendamping orang muda berupa pelatihan dalam jaringan (e-learning).

“Kami sangat terbantu untuk menjangkau banyak orang dan lebih efektif dengan keberadaan teknologi. Kami menggunakan Instagram untuk pewartaan dan penyebaran informasi, misalnya terkait Sinode Orang Muda, pengembangan Orang Muda, dan memotivasi mereka,” ucap pastor yang akrab disapa dengan Romo Hary.

Sejumlah seminar-seminar dengan media laman atau disebut website seminar (webinar) juga dilaksanakan oleh Komisi Kepemudaan KWI. Melalui webinar beragam informasi disampaikan, misalnya pengembangan kewirausahaan, dan sosial kemasyarakatan. Lewat saluran berbasis media sosial itu, kata Romo Hary, ditujukan demi penyebaran konten berita positif, optimistis, membangun, dan inspiratif.

Menurut Romo Hary, pihak KWI meyakini sepenuhnya bahwa kalangan orang muda membutuhkan ruang pertumbuhan diri, termasuk aspek spiritualitas. “Dalam pelatihan-pelatihan dan pendampingan itu, kami mendasarkannya dengan spiritualitas Kristiani. Ini demi pembentukan diri orang muda dalam bentuk karya dan doa,” katanya.

circle

Pemanfaatan aplikasi dan media sosial

triple foto

Beragam sarana penunjang ibadah iman Kristiani mengalami perkembangan dengan aspek media digital. Menurut pastor dari Gereja Katolik Santa Theresia Menteng, Jakarta Pusat, Andang Listya Binawan, SJ, menambahkan teknologi komunikasi mesti dimanfaatkan demi meningkatkan komunikasi dalam tubuh gereja, yakni antarumat maupun antara umat awam dan kaum biarawan/biarawati dan rohaniman.

Bercermin pada masalah perpecahan di dalam gereja yang marak pada zaman dulu, Andang mengungkapkan, sarana teknologi komunikasi terbaru semestinya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki dan memperkuat persatuan-kesatuan dalam gereja.

Namun, Andang mengingatkan, teknologi komunikasi untuk mendukung tata-cara peribadatan atau liturgi dibatasi hanya sejauh memudahkan ibadah atau doa. Teknologi pengeras suara, misalnya, disediakan pada setiap Gereja Katolik untuk membuat pelaksanaan ibadah lebih meriah dan bagus. Namun bagi umat dari kalangan milenial dan lebih muda, Andang mewanti-wanti, makna dari penyajian tata ibadah secara meriah rentan tergelincir menjadi acara hiburan.

Kalangan generasi milenial atau Y, kata dia, cenderung lebih suka mencari hal yang menyenangkan atau mengasyikkan. Sementara hakikat ibadah atau liturgi ialah doa.

“Liturgi bukan sekadar upacara, tetapi juga bukan entertainment. Kalau kita berfokus pada hal yang menyenangkan, maka liturgi hanya akan menjadi sebuah hiburan. Maka teknologi dipakai sejauh mendukung doa,” ucap pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu.

Kehadiran sarana yang dibawa oleh teknologi komunikasi digital tak dimungkiri juga mengandung dampak negatif. Dari data riset We are Social dan Hootsuite dari Inggris per Januari 2019, jumlah pengguna media sosial di Indonesia meningkat, yakni 20 juta pengguna pada 2018 yang didominasi penduduk muda, berusia 18-34 tahun. Mereka mengakses internet orang Indonesia rata-rata selama 8,5 jam dalam sehari. Sebagian besar waktu akses atau 60% di antaranya dipakai untuk bermedsos, dengan rata-rata 11 akun dimiliki per pengguna.

Kardinal Ignatius Suharyo, pemimpin tertinggi Gereja Katolik di Indonesia, dalam Pesan Natal 2019, menyinggung persoalan ujaran kebencian sebagai bagian efek media sosial. Kardinal Suharyo mengungkapkan, masalah ujaran kebencian menjadi makin serius dan perlu disikapi dengan lebih serius, termasuk pihak Gereja Katolik.

“Kata ‘ujaran kebencian’ ini sepuluh tahun lalu belum ada. munculnya ujaran kebencian ini menjadi cermin bahwa kebersamaan kita sebagai warganegara semakin luntur,” ucapnya, dalam konferensi pers di Gedung Pastoral Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Gereja Katedral, Rabu (25/12).

foto-kardinal

Menyikapi hal tersebut, kata Kardinal Suharyo, KAJ dan KWI rutin mengembangkan program pendidikan literasi media sosial di beberapa kota di Indonesia lewat kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Kegiatan yang dikelola oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) di bawah KWI itu dilaksanakan melalui bermacam pelatihan tentang penggunaan media sosial yang bijak dan bermartabat.

Selagi program tersebut berlangsung, Kardinal Suharyo memperkirakan, terpaan dampak media sosial bagi perilaku warga jauh lebih kuat dibandingkan proses yang dijalankan melalui pendidikan literasi media sosial.

circle

Tetap dekat dengan Tuhan

alinea air

Presenter acara televisi Daniel Mananta memiliki cara tersendiri untuk tetap dekat dengan Tuhan. Meskipun sibuk berbisnis dan sejumlah syuting acara televisi, Daniel rutin membaca kisah-kisah pada Alkitab. Dia punya kebiasaan membaca Kitab Suci setiap hari dari aplikasi “Bible in One Year 2019”di ponselnya. Baik dalam perjalanan ataupun waktu-waktu khusus di rumah, Daniel juga menyertakan catatan renungan dan doa pribadi.

“Gue membiasakan banget membaca Kitab Suci. Karena gue merasa hidup gue tanpa kata-kata Tuhan menjadi terombang-ambing, terlebih di dunia entertainment,” tuturnya.

foto

Alkitab menjadi tempatnya untuk belajar demi menjaga tutur kata lisan. Daniel merasa perlu selalu mengevaluasi diri. Menurutnya, sejalan dengan proses seseorang makin menuju capaian hidup yang lebih tinggi, orang mudah tergelincir untuk menghakimi orang lain. Hal ini, baginya, merupakan ujian kehidupan.

“Gue merasa harus wawas diri agar apa yang gue ucapkan kepada orang lain tidak salah. Sebaliknya, bisa menyentuh atau menginspirasi orang lain. Supaya tidak self righteous atau merasa diri paling benar dan menganggap orang lain salah,” ujarnya.

Daniel juga merasakan kasih Tuhan yang luar biasa dalam menjalani karier yang sangat dia sukai hingga kini. Dengan menjadi presenter, Daniel dapat menyalurkan passion dalam public speaking. Selain itu, Daniel menjalankan bisnis pakaian bermerek “DAMN I Love Indonesia”.

Rasa syukur itu dia ungkapkan dengan berniat lebih banyak berbagi kasih dan kebaikan kepada orang lain, khususnya yang berkeyakinan bukan Kristiani. Tahun depan dia berencana ingin mengunjungi tempat-tempat ibadah lain sembari mempelajari ajaran agama yang berbeda.

“Gue pengin banget masuk masjid, pengin banget belajar dengan menonton ceramah-ceramahnya di Youtube. Menurut gue, pasti ada kesamaan nilai dengan ajaran atau nilai Kristiani,” ucapnya.

Menurut Daniel sikap toleransi dengan umat berkeyakinan berbeda bisa dimulai dari hal kecil, yaitu pilihan kata dalam sapaan dan percakapan sehari-hari. Beberapa kosakata yang identik dengan keyakinan tertentu mulai dibiasakan Daniel untuk diucapkan sesuai keyakinan orang yang dijumpainya.

“Gue lebih sering dan membiasakan diri mengucap alhamdullilah, assalamualaikum. Karena bagi gue, itulah cara gue untuk bisa bersahabat dan membangun toleransi dengan orang beragama lain,” kata pria 38 tahun ini.

 

logo utama ilistrasi gereja

Gereja Prostestan di Indonesia Barat (GPIB) Jemaat Sion terletak di Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat. Usianya telah 324 tahun, merupakan salah satu gereja tertua di Indonesia.

gereja
title sejarah
circle

Di kawasan Kota Tua, Jakarta, ada bangunan rumah ibadah bernuansa sederhana dan klasik. Lokasinya sekitar 200 meter dari Stasiun Kereta Api Jakarta Kota (Beos). Sampai saat ini gereja masih tegak berdiri kokoh dan tetap berfungsi sebagaimana rumah ibadah bagi jemaatnya.

Tampak dari muka, pintu masuk Gereja Jemaat Sion sudah terbuka lebar. Meskipun hawa siang itu cukup panas dan terik, Gereja ini menawarkan kesejukan saat menginjakkan kaki di halamannya.

Bangunan Gereja Sion sangat kuat menggambarkan gaya interior Eropa.

Sejak memasuki pintu depan bangunan gereja, nuansa itu sudah terlihat. Kusen pintu yang tinggi dan melengkung di bagian atasnya menandakan ciri khas bangunan Roma. Selain itu, enam pilar-pilar di bagian dalam gereja mengesankan arsitektur barat kuno.

Kursi-kursi kayu berwarna hitam difungsikan sebagai panti atau tempat duduk jemaat. Panti bagi jemaat lainnya yang terbuat dari kayu hitam eboni masih dapat dipakai. Bangku panjang yang masih kuat dan berukiran bagus ini menempati empat sisi dalam gereja. Dua titik pada sisi kiri dan kanan altar, satu bersisian dengan bangku pemusik dan tempat meletakkan instrumen pengiring nyanyian. Satu panti kayu lagi berada di sisi belakang, tepat di bawah orgel atau organ seruling.

Ambang pintu berbentuk setengah lingkaran dan tingginya 3,2 meter (m). Daun pintu terbuat dari papan kayu setebal 5 sentimeter (cm). Pintu masuk di sebelah utara masih merupakan pintu asli, sedangkan pintu masuk sebelah barat merupakan pintu tambahan. Bagian dalam gereja dilengkapi dengan jendela kaca sebanyak 15 jendela yang berukuran lebar 2,6 m, tinggi 5 m, dan ambangnya berbentuk setengah lingkaran. Jendela ini terbuat dari panil-panil kaca patri sehingga siang hari tampak terang.

circle
gereja tengah
Politik agama VOC

Meski tampak kokoh, namun Gereja Jemaat Sion sebagai tempat ibadah dan bangunan cagar budaya beberapa bagiannya menunjukkan kondisi rapuh. Misalnya ada dua anak tangga kayu di sisi belakang ruang ibadat yang melapuk. Di situ tertera tulisan imbauan untuk berhati-hati bagi pengunjung. Tangga ke atas itu merupakan akses menuju tempat diletakkannya orgel atau organ seruling yang berukuran cukup besar sekira 3m x 5m.

Hendaru Tri Hanggoro, sejarawan dari Historia, mengatakan Gereja Jemaat Sion menandai kaitan pengaruh politik agama yang dijalankan Persekutuan Dagang Belanda (VOC) terhadap keyakinan sebagian keturunan Portugis di Indonesia. Peran peralihan keyakinan itu dilangsungkan melalui lembaga Gereja Reformasi.

“Harusnya mereka (tawanan Portugis) itu Katolik, tapi justru menjadi Kristen Protestan karena politik agama VOC yang mem-Protestan-kan orang-orang Portugis atau keturunannya,” kata Hendaru, melalui pesan teks WhatsApp kepada Alinea.id, Selasa (25/12).

Dari latar kisah itu, GPIB Jemaat Sion sebagaimana gereja-gereja tua di dalam tembok dan sekitar tembok kota lainnya di kota-kota lain di Indonesia, menjadi pintu masuk mengenal dinamika kehidupan orang Serani (Nasrani) di Batavia.

“Dulu kan VOC itu sebagai kongsi dagang yang tidak banyak menaruh perhatian soal agama. Tetapi di sisi lain, mereka juga melarang pembangunan Gereja Katolik di dalam tembok kota,” katanya.

Di sisi lain, Hendaru juga mengungkapkan, bangunan GPIB Jemaat Sion mewariskan peninggalan bernilai sejarah lain. Selain gaya arsitektur Eropa dan orgel tua, dia menyebutkan ada kursi khotbah dengan ukiran khas China dan piring perak sumbangan orang-orang kaya Belanda.

Adolf Heuken dalam buku Gereja-Gereja Tua di Jakarta (2003) mencatat, gedung gereja yang didominasi batu-batu alam itu didirikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Bangunan utama yang dipakai sebagai tempat ibadah umat Kristen Protestan itu sebelumnya adalah sebuah pondok tempat belajar agama bagi para tawanan miskin dan budak Portugis. Kala itu, para tawanan Portugis umumnya tinggal di luar tembok batas kota Batavia. VOC menguasai Jakarta dengan membangun tembok tinggi sebagai batas kota.

Para tawanan dijanjikan kebebasan dengan syarat menjadi anggota Gereja Reformasi. Mengingat jumlah jemaat yang mengikuti pelajaran dan kebaktian terus bertambah, didirikanlah gedung dari batu-batu yang berukuran lebih besar. Maka dari itu, bangunan ini awalnya dikenal dengan nama Portugueesche Buitenkerk (Gereja Portugis di Luar Tembok Batas Kota). Lokasi itu kini menjadi Gereja Jemaat Sion yang dikenal sekarang.

Kepala Tata Usaha GPIB Jemaat Sion, Waspo Yuwono, menegaskan, pengembangan fungsi pondok tempat beribadat itulah yang menjadi cikal-bakal bangunan Gereja GPIB Jemaat Sion. Waspo mengatakan, peletakan baru pertama pembangunan gereja ini pada 23 Oktober 1693. Konstruksi bangunan dirancang oleh Mr E. Ewout Verhagen dari Rotterdam. Kapasitas gereja ini dapat menampung hingga 1.000 orang.

“Lalu diresmikan tahun 1695. Tahun ini (2019) gereja ini berusia 324 tahun,” tutur Waspo.

Menilik ke dalam area bangunan gereja yang dipakai sebagai lokasi ibadah, terdapat ruangan besar berukuran 24 m x 32 m. Lantai bangunan gereja ini terbuat dari batu-batu alam berwarna hitam.

“Debu sering menempel di lantai. Harus rutin digosok, dipel setiap dua kali seminggu,” kata Tasum, petugas perawatan GPIB Jemaat Sion yang dijumpai di gereja tersebut. Menunjuk petak-petak lantai, Tasum menjelaskan bahwa satu petak ubin batu alam berukuran 40 cm x 40 cm, dengan bobot sekitar 30 kilogram.

Tasum berstatus pegawai utusan Balai Pelestarian Cagar Budaya, lembaga di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia dipercayakan tugas menjaga keasrian dan kebersihan bangunan gereja yang pengelolaannya secara resmi berada pada Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB). Meskipun dikelola oleh GPIB, pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya mengutus Tasum untuk melengkapi tugas perawatan bangunannya.

Meskipun berupa bangunan cagar budaya, pengelolaan gereja sudah menjadi kewenangan pihak GPIB Jemaat Sion. Dalam laman Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Kemendikbud disebutkan, Gereja ini pernah dipugar pada 1920 dan 1978.

Bangunan gereja ini dilindungi pula oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta CB/11/1/12/1972. Hal ini diperkuat dengan penetapan bangunan GPIB Jemaat Sion sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No. 475 tahun 1993 dan SK Menteri No. 193/M/2017.

circle
gereja

Dana jemaat

Di usianya yang semakin tua, Gereja Sion masih eksis melayani umat. Waspo mengatakan ibadah Natal tahun ini, pihak GPIB Jemaat Sion mengangkat tema “Sukacita yang besar”. Rangkaian ibadah Natal digelar berurutan pada 24, 25, dan 26 Desember 2019. Selain itu, pada 28 Desember mendatang akan digelar perayaan kebersamaan Natal bagi semua jemaat Gereja Sion.

Dibandingkan ibadah mingguan biasanya, hari raya Natal diisi dengan tata ibadah yang meriah tapi tetap khusyuk. Pada beberapa kesempatan ibadah dipentaskan tari-tarian atau drama natal singkat.

“Di GPIB Sion sudah menetapkan standar baku pelayanan ibadah. Pada hari besar seperti Natal, kreasi tata ibadah ditentukan oleh bagian kreatifnya,” ucapnya.

Sementara kegiatan lain berupa acara bakti sosial bagi lingkungan masyarakat di sekitar gereja biasanya diselenggarakan sewaktu peringatan Hari Raya Paskah.

Dia mengatakan, di hari raya Natal, umumnya jemaat yang hadir dalam ibadah dua kali lebih banyak dari ibadah mingguan biasa.

Selama ini, kata dia, pelayanan ibadah mengikuti asas yang ditentukan oleh pihak majelis bersama pendeta-pendeta GPIB.
Dia mengatakan, tata cara ibadah yang baku telah menjadi panutan semua jemaat, termasuk kaum muda.

“Mereka (kaum muda) sudah tahu bahwa pelayanan di sini berpegang pada asas GPIB. Jadi mereka sudah paham dan tidak mempermasalahkan,” katanya.

Bagi jemaat yang ingin memperdalam iman, pihak GPIB Jemaat Sion secara rutin menggelar program katekisasi berupa pembelajaran pendalaman iman Kristiani.

“Setiap tahun diadakan, periode pembelajaran sekitar 10 bulan di bawah bimbingan pendeta dan anggota majelis yang bersertifikat. Jadi tidak asal bisa ceramah alkitab, ada dasar-dasarnya,” ucapnya.

Sebagai cagar budaya bangunan dengan peringkat nasional, pengelolaan sehari-hari GPIB Jemaat Sion dijalankan dengan dana dari jemaat Sion, misalnya sumbangan dan persembahan persepuluhan saat ibadat. Pengelolaan ini, kata Waspo, mencakup kebutuhan kebersihan, perawatan bangunan, dan kegiatan operasional ibadat.

“Bantuan dari luar sifatnya insidental saja,” katanya.

Tasum, petugas perawatan gedung GPIB Jemaat Sion sejak 1988 mengatakan, sekitar tahun 2001 dan 2002, pernah dilakukan pengecatan tembok dan kusen pintu gereja. Namun, belakangan, perawatan sejenis itu, jarang dilakukan. Menurutnya, bila perawatan khusus dijalankan, operasionalnya harus berdasarkan pengajuan dana kebutuhan kepada atasannya di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta.

“Bisa mengajukan proposal lebih dulu. Karena ada perhitungan dana yang lumayan besar untuk perawatan,” ujarnya.

Di samping itu, keberadaan GPIB Jemaat Sion sebagai bangunan yang bernilai sejarah juga berkembang sebagai destinasi wisata sejarah alternatif di Jakarta. Tak sampai empat meter setelah memasuki pintu depan ruang ibadah, terdapat kotak sumbangan sukarela bagi wisatawan yang berkunjung.

circle

Perlu upaya pelestarian

Keberadaan GPIB Jemaat Sion sebagai bangunan cagar budaya dinilai penting untuk dirawat. Hendaru Tri Hanggoro menjelaskan, berdasar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengelolaan cagar budaya menjadi tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat yang mencakup warga sekitar bangunan, akademisi, penggiat budaya, dan media massa.

foto

Jika amanat dalam UU Cagar Budaya tersebut dijalankan dengan tepat, kata Hendaru, bangunan seperti GPIB Jemaat Sion tetap akan bertahan. Dia berpendapat ke depan semestinya perawatan bangunan GPIB Jemaat Sion ditingkatkan dengan membangun kerja sama antara beragam elemen pemerintah dan masyarakat.

“Saya pikir alokasi pendanaan dari pemerintah daerah setempat (Provinsi DKI Jakarta) juga akan berbeda pada tiap bangunan cagar budaya. Tidak ada pihak yang berhasil sendirian mengurusi bangunan cagar budaya,” kata dia menegaskan.

Selain itu, penting pula penyebaran informasi yang mendidik masyarakat sekitar gereja tua tersebut tentang makna keberadaannya sebagai bangunan cagar budaya. Hal ini, kata Hendaru, bisa dengan melibatkan institusi pendidikan dan agama. Cara ini semata-mata dilakukan agar publik mengetahui dan mulai menumbuhkan rasa memiliki dan tergerak memikirkan perawatan bangunan cagar budaya.

“Kalau sudah hilang maknanya, besar kemungkinan bangunan cagar budaya itu akan terbengkalai,” kata dia

romo andang

Andang Listya Binawan, SJ, salah satu rohaniman Katolik yang mengembangkan pandangan inovatif melampaui identitasnya sebagai pastor. Romo Andang, demikian panggilan akrabnya, dikenal menekuni hukum gereja sejak menempuh pendidikan pascasarjana di Catholic University of America, Washington DC, Amerika Serikat pada 1994–1996.

circle

Milenial dalam kungkungan digital

Hidup di dunia yang serba digital jadi perenungan serius Romo Andang. Lewat pemikiran kritis, ia mengajak agar masyarakat modern hidup lebih membumi. Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Andang meringkas tantangan manusia modern dengan mengibaratkan seutas layang-layang di tengah tiupan angin ribut.

Dijumpai di Sekretariat Paroki Gereja Santa Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (20/12), Romo Andang menjelaskan amsal angin ribut yang dimaksudkannya ialah luberan informasi yang tersedia di media sosial, juga berbagai kemudahan yang ditawarkan akibat kemajuan teknologi komunikasi.

foto dual

“Sekarang ini dengan kemajuan media sosial dan segala perkembangan teknologi yang ada, anginnya menjadi sangat ribut,” ujar Romo Andang. Hal itu, kata dia, menuntut sikap wawas diri manusia.

Dengan berefleksi dalam semangat Natal sebagai peringatan kelahiran Yesus, Andang mengingatkan hakikat manusia yang mengalami pertumbuhan, atau seperti layang-layang “terbang meninggi”.

Namun, selagi mencapai puncak-puncak prestasi hidup, pandangan manusia kerap dikaburkan dengan berbagai tawaran duniawi. Dari sekian banyak kebutuhan manusia, kemakmuran menjadi salah satu yang paling dicari. Akibat kemajuan teknologi, kata dia, kemudahan mengejar capaian diri akan mudah membuat manusia lalai pada nilai-nilai keluhuran martabatnya sebagai ciptaan Tuhan yang Esa.

katedral

Terutama dialami oleh kaum muda, Andang memandang generasi milenial juga sesudahnya sangat rentan mengalami pergeseran nilai-nilai pegangan hidup. Dengan menilik tiga dimensi manusia yang terdiri atas tubuh, jiwa, dan roh, menurutnya, setiap orang dibekali kepekaan menimbang antara kebutuhan dan keinginan.

“Generasi milenial kalau tidak hati-hati adalah generasi yang lembek. Mereka sulit membedakan antara senang, gembira, dan bahagia,” ucap Andang.

Dia membandingkan generasi milenial dengan generasi X dan babyboomers yang dilahirkan pada rentang tahun lebih dahulu. Contoh sederhana, dahulu bagi babyboomers berjalan kaki sejauh satu kilometer biasa dilakukan. Namun itu tidak bagi milenial yang merasa melangkah satu kilometer terasa jauh dan melelahkan.

katedral

Selain itu, dia memandang, kepribadian generasi muda yang kurang tangguh terukur dari kecenderungan untuk mudah berpindah tempat kerja.

“Anak muda belakangan, asal tidak senang sedikit, mudah resign (mengundurkan diri). Kalau tidak hati-hati akan membuat pribadi menjadi tidak tangguh,” ucapnya.

Kembali pada perumpamaan seutas layang-layang, Andang mengingatkan pilihan sadar sekaligus kritis publik untuk memberikan perhatian pada hal-hal spiritual dan keimanan. Karena spiritual dan keimanan itu bagai benang yang kecil dan kuat sebagai sarana untuk menerbangkan layang-layang merupakan simbol dari iman bagi pegangan hidup manusia. Menurut dia, kemudahan yang ditawarkan teknologi komunikasi perlu disikapi kritis dengan memperkuat dasar keyakinan atau iman. Dengan landasan iman yang kuat, menurutnya, setiap orang khususnya kaum muda bisa mencegah dampak buruk nilai-nilai yang disalurkan dalam pemanfaatan teknologi komunikasi digital.

circle

Halau radikalisme

plurailisme

Meluapnya beraneka ragam informasi kerap menggoyahkan keyakinan dan pilihan masyarakat untuk menganut pada sebuah pedoman utama. Tiupan “angin ribut” pun membuat masyarakat gamang menentukan keputusan-keputusan dalam hidupnya. Beredarnya hoaks atau berita palsu kerap menjatuhkan manusia pada kesalahpahaman dan kemunduran kualitas hidup.

Menanggapi kualitas peran Gereja Katolik bagi masyarakat Indonesia, Andang terbetik dengan pemikiran sosiolog Anthony Giddens tentang situasi dunia yang tunggang-langgang.

“Akibatnya, orang menjadi sulit untuk fokus. Orang menjadi dangkal dan tidak masuk pada kedalaman,” katanya.

Andang menyimpulkan, dalam menerima informasi, publik hanya memilih isi informasi sekadar menyenangkan dirinya atau sesuai preferensi saja. Dia mengungkapkan, hal ini turut membuka potensi masuknya pemahaman spiritualitas yang keliru, seperti fundamentalisme dan radikalisme.

Isu radikalisme ini pun memerlukan kewaspadaan generasi milenial dan kaum muda mengkritisi informasi yang diterima. Sebab alih-alih untuk mendalami aspek spiritualitas atau nilai ajaran agama, modernitas berpotensi pula mengancam keadaban publik dengan pemahaman dan sikap fanatik dan intoleransi.

Selain diterpa dengan bermacam-ragam informasi, pertumbuhan sarana komunikasi dan transportasi yang cepat telah mengubah gaya berpikir dan tindakan masyarakat.

“Akibatnya, orang menjadi sulit untuk fokus. Orang menjadi dangkal dan tidak masuk pada kedalaman,” katanya. Demi mencegah potensi radikalisme, Andang menyarankan upaya meningkatkan kepercayaan diri sembari bersikap terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda.

circle

Kembangkan kebiasaan sosial

peran gereja

Berkaitan tema Natal Nasional “Bersahabat bagi Semua Orang”, Andang mengungkapkan makna kelahiran Yesus Kristus sebagai ajakan untuk menghormati martabat sesama manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna. Natal yang diperingati setiap 25 Desember, kata Andang, bukanlah sebuah seremonial belaka. Sebaliknya, perayaan Natal mesti diisi dengan semangat kontekstual dengan kondisi hidup sebagai bangsa Indonesia.

“Kita adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Maka kita bersahabat menjalin relasi dengan siapapun, menguntungkan ataupun tidak, kaya maupun miskin, dalam bermacam etnis, budaya, etnis, gender, semua orang. Persatuan Indonesia sangat penting,” katanya.

Dalam kaitan dengan itu, Andang turut mengajak publik untuk mengembangkan kebiasaan sosial atau habitus dengan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial yang relevan dengan kemajuan bangsa. Andang mencontohkan, perilaku beradab dalam berlalu lintas dan peduli kebersihan lingkungan perlu digiatkan secara konkret dalam hidup keseharian.

“Pemerintah telah menyediakan sarana-prasarana fisik yang bagus, jalan raya dan tol yang bagus. Tetapi kalau mental dan karakter warga masih asal-asalan, ya tetap saja di jalan raya itu orang jalan sembarangan, berkendara saling serobot, lampu merah tidak diperhatikan. Lalu apa gunanya pembangunan jalan?” ujarnya.

Di samping itu, kebersihan lingkungan merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat. Hal ini sejalan dengan fasilitas kebersihan yang sudah disediakan oleh pemerintah. Maka, kata dia, sepatutnya masyarakat mengembangkan pola hidup bersih yang pro dengan pelestarian lingkungan.