hunian

Hitung hitungan anak muda mempunyai hunian

Saat ini, generasi milenial disebut-sebut sebagai golongan penduduk yang berpotensi besar menguasai pasar properti. Menurut Howe dan Strauss dalam Millennials rising: The Next great generation, generasi milenial adalah mereka yang lahir pada 1982 hingga 2000.

Riset konsultan properti Savills Indonesia menyebutkan, penghasilan generasi milenial rata-rata di bawah Rp12 juta per bulan. Perinciannya, 46% pendapatannya Rp4 juta per bulan, 34% berpenghasilan Rp4 juta hingga Rp7 juta per bulan, 14% berpendapatan Rp7 juta hingga Rp12 juta per bulan. Sisanya, di atas Rp12 juta per bulan.

Dengan penghasilan tersebut, mayoritas anak muda itu dicap sulit membeli rumah. Meski daya belinya diragukan, nyatanya justru mereka paling banyak membeli rumah melalui kredit pemilikan rumah (KPR). Survei Bank Indonesia menyoal properti tanah air, membuktikan hal itu.

image 1 alinea
image 2 alinea
image 3 alinea
image 4 alinea
image 5 alinea
image 6 alinea

Atap bagi anak muda

Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia per 13 September 2018, pembelian rumah melalui KPR oleh konsumen rentang usia 26 hingga 35 tahun, mengalami peningkatan cukup signifikan. Tipe rumah tapak 22-70 m2, rumah susun/flat 22-70 m2, dan rumah susun/flat kurang dari 21 m2 menjadi incaran para konsumen muda.

Sepanjang 2018, komitmen KPR rumah tapak generasi milenial mencapai 45% dari total KPR. Angka ini naik sebesar 40% dari 2017 dan 35% dari 2016.

Dika Irawan memiliki pengalaman menarik mencari hunian. Pria yang bekerja sebagai jurnalis di sebuah media nasional ini memulai mencari rumah dengan mendatangi pameran properti di Senayan. Dia pun melihat-lihat perumahan yang lokasinya tak terlalu jauh dari akses transportasi, kualitas bangunan baik, dan harga terjangkau. Usai survei di Citayam, Kabupaten Bogor, beberapa kali dia survei lokasi di Tangerang melalui sambungan telepon.

“Sampai kebetulan waktu itu pemilik indekos yang juga pengembang menawarkan rumah tipe 36/72 di wilayah perbatasan Depok dan Bogor, daerah Tajur Halang,” kata Dika kepada Alinea, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, pria berusia 28 tahun itu melakukan proses mencicil untuk melunasi uang muka rumah itu. Dia harus membayar Rp20 juta, dicicil empat kali. Kemudian, dia membayar biaya pemesanan sebesar Rp1 juta.

Tahap berikutnya, Dika membuka KPR di bank rekanan pengembang. Dika kemudian membayar proses KPR, di luar biaya uang muka tadi untuk balik nama, dan mengurus pajak. Kocek yang dia keluarkan untuk mengurus hal ini sebesar Rp10 juta.

Dika mengaku tak kesulitan membayar cicilan rumahnya. Selain mendapatkan bantuan finansial dari orang tuanya, dia pun menyisihkan 40 persen gajinya sebagai buruh pena.

“Sampai saat ini tidak ada jatuh tempo dari saya. Bunga cicilan sekitar lima tahun, dengan bunga 10,2%, tenor hingga 20 tahun,” kata dia.

Strategi lain Dika untuk memiliki hunian, dia mengambil tenor panjang untuk menyesuaikan dengan kondisi finansialnya. Kini, cicilan rumahnya sudah berjalan satu tahun lebih.

“Kalau keuangan sudah stabil, dan sekarang sudah menikah, nanti saya mau perpendek tenor atau take over,” ujarnya.

Sementara itu, survei harga properti residensial yang dilakukan Bank Indonesia pada kuartal II-2018 memberikan indikasi perlambatan kenaikan harga properti residensial di pasar primer.

Hal itu bisa dilihat dari indeks harga properti residensial pada periode tersebut yang tumbuh 0,76% (qtq), atau melambat dibandingkan 1,42% (qtq) pada triwulan sebelumnya. Perlambatan kenaikan harga rumah itu diprediksi berlanjut pada kuartal III-2018 sebesar 0,55% (qtq).

Meski demikian, secara umum perkembangan harga properti residensial di pasar sekunder pada Agustus 2018 mengalami peningkatan, walau masih cenderung melambat. Di Jakarta, perkembangan harga properti residensial di pasar sekunder pada Agustus 2018 melambat menjadi 3,41% dari sebelumnya 4,36% pada Juli 2018.

Perlambatan harga properti residensial tersebut terjadi di semua tipe rumah dan di sebagian besar wilayah Jakarta, kecuali Jakarta Timur.

Anton Sitorus
"Jadi ini waktunya beli properti, karena harga akan naik lagi dalam dua tahun mendatang.” Anton Sitorus Kepala Riset dan Konsultan PT Savills

Apartemen seken

Direktur Riset Savills Indonesia Anton Sitorus mengatakan, penurunan harga properti mengindikasikan kesempatan yang baik bagi para konsumen muda untuk membeli hunian. Bagi mereka yang tak mau punya hunian jauh dari kantor, apartemen seken bisa jadi solusi.

Anton melihat kecenderungan ini di Jakarta. Menurutnya, banyak pemilik apartemen yang menjual propertinya ke pasar. Alasannya, biaya perawatan kian mahal, sementara pasar sewa terus melemah.

Lebih lanjut, Anton menuturkan, sekarang harga apartemen di Jakarta setara dengan harga di luar Jakarta, yakni Rp20 juta per m2. Padahal tahun lalu, Jakarta memasang harga sekitar Rp35 juta per m2. Anton menilai, kondisi ini disebabkan suplai apartemen yang terus bertambah, sementara angka penjualan relatif rendah.

“Jadi, ini waktunya beli properti,” kata Anton kepada Alinea, beberapa waktu lalu. Menurut Anton, para pemilik apartemen menjual propertinya lantaran terdesak kebutuhan.

“Di sini kesempatan end user untuk segera membeli apartemen di pasar sekunder,” ujarnya.

Anton mengatakan, hal ini merupakan fenomena baru. Menurutnya, sudah ada sejumlah apartemen seken yang harganya miring di Jakarta. Selama aspek harga dan aksesibilitasnya terpenuhi, kata Anton, sebaiknya segera beli properti.

“Karena harga akan naik lagi dalam dua tahun mendatang,” kata dia.

Savills Indonesia mencatat, sepanjang kuartal I-2018, terdapat pasokan apartemen baru sebanyak 6.400 unit. Angka tersebut menambah total pasokan apartemen menjadi 144.000 unit. Dari data Savills Indonesia, penjualan unit apartemen pada semester I-2018 hanya mencapai 1.350 unit, atau turun 70% dari periode yang sama tahun lalu, sebesar 2.500 unit.

Berdasarkan jumlah pasokan itu, terbesar ada di Jakarta Utara, yakni 20%, Jakarta Barat 20%, dan area pusat bisnis 19%. Sisanya, 19% pasokan ada di Jakarta Selatan, 15% di Jakarta Pusat, dan 7% di Jakarta Timur.

hitung-hitungan memilih hunian

Daerah penyangga

hitung-hitungan memilih hunian

Sekarang ini, mendapatkan hunian tapak di tengah Kota Jakarta semakin sulit dan harganya selangit. Banyak orang kemudian mengincar mencari hunian ke daerah penyangga Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Di daerah penyangga itu, harga rumah masih terbilang terjangkau. Contohnya Dika Irawan yang memilih hunian di Tajur Halang, Kabupaten Bogor.

Selain Bogor, salah satu area target mencari rumah adalah Bekasi. Berdasarkan laporan portal properti Lamudi Indonesia, diketahui rata-rata orang yang berniat membeli rumah di Bekasi mencapai 20.740 dalam waktu sebulan. Bekasi menjadi kota ketiga terbanyak yang diincar pencari rumah sepanjang 2017.

Managing Director Lamudi Indonesia Mart Polman dalam rilis pers yang diterima Alinea mengatakan, Cikarang saat ini menjadi kawasan yang populer bagi pencari properti, baik para investor maupun end user.

Salah satu alasannya, di sana terdapat 4.000 pabrik. Karyawannya pun berasal tak hanya dari Indonesia, tapi juga pekerja asing asal Jepang, Tiongkok, Korea, dan Taiwan.

“Cikarang selama ini dikenal sebagai kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara. Di sana terdapat ratusan ribu karyawan lokal ataupun asing yang membutuhkan tempat tinggal,” kata Mart dalam rilis persnya.

akses transportasi

Akses transportasi

Meski begitu, generasi milenial tak sembarangan memilih hunian. Selain harga, mereka masih mempertimbangkan aksesibilitas dan ketersediaan sarana transportasi. Dika Irawan memilih daerah Tajur Halang, lantaran dekat dengan Stasiun Citayam, sekitar 15 menit perjalanan menggunakan sepeda motor.

Sebuah survei yang dilakukan Rumah.com pada semester kedua 2018 menunjukkan, 87% responden menganggap kedekatan hunian dengan sarana transportasi umum, seperti halte bus dan stasiun kereta api, merupakan hal yang penting.

Batas toleransi jarak dari hunian ke sarana transportasi umum, yaitu di bawah satu kilometer. Sebanyak 51% responden menganggap jarak tersebut dekat atau sedang.

Sebanyak 69% responden menyertakan kedekatan dengan kantor sebagai salah satu pertimbangan memilih hunian. Pertimbangan lainnya, jarak dengan sekolah anak-anak, yakni sebesar 47%.

Rumah hunian

Barangkali, hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah bisa pula menjadi solusi anak-anak muda untuk memiliki hunian. Salah satu pengembang yang konsisten membangun hunian murah adalah PT Sri Pertiwi Sejati Group.

Managing Director PT Sri Pertiwi Sejati Group Asmat Amin mengatakan, tahun ini perusahaannya kembali akan menggarap pasar hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

“Semua proyek kami masih fokus di sekitar wilayah timur Jakarta, seperti di Karawang, Purwakarta, hingga ke Subang, Jawa Barat,” ujar Amin dalam keterangan resminya, belum lama ini.

Amin menjelaskan keempat proyek tersebut, yaitu Grand Cikarang 2, Grand Karawang Residence, Grand Subang Residence, dan Grand Purwakarta Residence. Harga yang dipatok untuk hunian di kawasan itu senilai Rp130 hingga Rp148 juta per unit.

Menurut Amin, sepanjang 2015 hingga 2017, perusahaannya telah berhasil membangun hunian murah sebanyak lebih dari 15 ribu unit per tahun. Bahkan, pengembang yang bermarkas di Cikarang, Jawa Barat tersebut menargetkan jumlah pembangunan yang sama tahun ini.

Meski demikian, Amin mengatakan, masih banyak persoalan yang dihadapi dalam penyediaan hunian murah. Saat ini, hampir semua pengembang enggan membangun hunian murah, lantaran ketersediaan tanah untuk pengembangan hunian masyarakat berpenghasilan rendah di sejumlah wilayah strategis sudah semakin langka. Bila ada, pasti harganya sudah selangit.

Amin menyarankan, ke depan pemerintah membuat program pembangunan rumah lima tahunan bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersendiri, yang lebih masif, terstruktur, dan terencana untuk mengatasi persoalan itu.

Selain itu, pemerintah juga harus berani menawarkan insentif menarik bagi dunia usaha, sehingga pengembang, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta, berbondong-bondong membangun hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Termasuk generasi milenial.

akses transportasi