Menelusuri jalan hijrah

Malam itu, Ustaz Khalid Basalamah mengisi kajian di masjid Nurul Iman, Blok M Square, Jakarta Selatan. Tema kajian kali ini bertajuk “Dosa-Dosa Besar”. Di dalam benak saya, Khalid bakal mengisahkan tentang beragam dosa besar, yang tak akan diampuni. Terpikir juga kisah siksa api neraka, yang tanpa ampun akan membakar manusia-manusia penuh dosa. Namun, dugaan saya salah. Khalid tak menyampaikan hal apapun yang terlintas dalam pikiran saya.

image alinea interactive image alinea interactive

Ustaz kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan tersebut berceramah mengenai aturan beribadah dalam Islam, yang sering diabaikan dan berpotensi menjadi dosa besar. Dia mencontohkan, seseorang yang sengaja menghalangi atau melintas di depan orang yang sedang salat.

“Favorit aku Ustaz Khalid Basalamah. Beliau sering bicara soal praktik-praktik agama Islam. Lebih riil dan bisa dipraktikkan,” kata Nurul Julaikah, teman saya yang kini getol mengikuti kajian agama dari masjid yang satu ke masjid yang lain di Jakarta.

Masjid Nurul Iman berada di lantai tujuh pusat perbelanjaan Blok M Square, Jakarta Selatan. Konsep arsitekturnya mirip Masjidil Haram di Makkah, Arab Saudi. Masjid ini mampu menampung 1.000 jamaah. Setiap hari, di sini diadakan kajian agama, dengan ustaz yang berbeda-beda.

Kebetulan, Ustaz Khalid Basalamah bukan hanya penceramah favorit Nurul, tapi banyak jamaah yang ingin mendengarkan kajian agamanya. Malam itu, masjid pun penuh jemaah yang khusyuk.

Jangan Asal Hijrah

Di hari lain, saya ikut Nurul ke masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk mendengarkan kajian agama dari Ustaz Abu Fida. Di masjid yang rampung dibangun pada 1958 ini, kajian agama diadakan rutin setiap Rabu malam.

Selain Rabu, setiap Minggu pagi, ada dua kajian agama di masjid ini. Serupa dengan masjid Nurul Iman, di masjid Al Azhar pun ustaz yang memberikan kajian agama berbeda-beda. Kajian agama tiap Rabu malam kerap didominasi anak muda.

Saat itu, Abu menyampaikan ceramah dengan tema “Hijrah atau Munafik”. Tema ini barangkali sedang “tren” di masyarakat. Abu menyampaikan bagaimana jalan yang mesti ditempuh umat Islam, yang mau berhijrah.

Dia mengingatkan agar umat Islam tak terjebak dengan masa lalu. Menurutnya, jangan takut untuk melangkah ke jalan yang benar. Sebab, sebesar apapun dosa, akan diampuni jika sudah bertobat.

Usai kajian, saya menghampiri dan berbincang dengan Abu. Dia dengan ramah menyambut saya. Abu mengatakan, tema kajian malam itu berangkat dari banyaknya fenomena orang yang hijrah, tapi tidak pernah menggugurkan sifat munafiknya.

“Bahkan, banyak yang hijrah tapi suka menjelekkan orang. Mengatakan pemahaman orang lain lebih rendah, kajian orang lebih jelek daripada ustaz yang dipercayainya,” kata Abu.

Abu juga mengatakan, orang yang ingin berpindah ke jalan kebaikan atau berhijrah wajib hukumnya memperdalam ilmu agama. Dengan mempelajari agama, kata Abu, umat muslim akan menemukan jalan menuju Tuhan dengan kafah.

Tidak sampai di situ saja, orang yang mau hijrah juga harus mempraktikkan ilmu yang sudah didapatnya ke dalam hidup sehari-hari. Selanjutnya, mereka juga harus menyampaikan ilmu tersebut kepada sesama muslim.

“Kemudian dia harus sabar dalam menyampaikan ilmu agama itu,” ujarnya.

Abu menambahkan, mempelajari ilmu agama yang dimaksud tidak hanya di permukaan saja. Orang yang hendak berhijrah, baiknya memperdalam pemahaman atas Alquran dan hadis. Caranya, dengan mengikuti kajian atau berguru kepada ulama yang benar.

Sebab, Alquran yang ditulis dengan bahasa Arab memiliki kaidah tertentu, dan hanya bisa diterjemahkan oleh orang yang berilmu.

“Hijrah adalah menuju kepada Allah. Syaratnya, paham tentang agama, belajar baca Alquran yang benar, karena banyak pertanda di sana,” katanya.

Lebih lanjut, Abu menuturkan, banyak umat muslim yang mengikuti kajian-kajian di masjid. Kebanyakan dari mereka anak muda. Menurut dia, semangat kaum muda untuk belajar ilmu agama masih tinggi.

“Mereka memang sering galau tentang pencarian jati diri di dunia. Padahal, semua petunjuk sudah tertulis jelas dalam Alquran,” kata Abu.

Bersama beberapa rekannya, Abu sendiri menggagas komunitas Terang Jakarta. Komunitas ini menjadi wadah anak muda untuk bertukar ilmu dan pengalaman terkait agama Islam.

image alinea interactive
img
img
img
img

Mencari Ketenangan Jiwa

Nurul yang sekarang, bukanlah Nurul yang dahulu saya kenal. Selain rambutnya sekarang tertutup hijab, keinginannya belajar agama pun meluap-luap.

“Dulu aku nggak percaya omongan ustaz. Waktu itu, aku pikir omongannya kebanyakan teori,” kata Nurul.

Nurul mengalami pergulatan batin yang panjang, sebelum mantap menelusuri terus jalan agama. Sebelum 2014, Nurul masih menjadi seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Dia mengaku abai beribadah dan terlena kehidupan duniawi.

Lama-kelamaan Nurul merasakan di dalam hatinya, bosan dan lelah mengejar kehidupan yang fana. Hal itu dia rasakan pada pertengahan 2014.

“Saya berpikir, apa lagi sih yang saya cari dalam hidup? Semua yang dikejar sudah saya dapat. Tapi kenapa saya masih tidak puas?” ujar Nurul.

Nurul mengambil keputusan sulit pada akhir 2014. Dia berhenti dari pekerjaannya. Lalu, memutuskan untuk pulang kampung ke Madiun, Jawa Timur. Dia berharap, mendapatkan ketenangan jiwa dibandingkan hidup di kota besar seperti Jakarta.

image alinea interactiveTak lama di kampung halaman, Nurul pun membuat keputusan besar dalam hidupnya. Dia mengenakan hijab. Selain itu, dia kerap hadir ke pengajian di masjid sekitar rumahnya. Awalnya, dia hanya ingin mempelajari ilmu agama dari para ustaz. Akan tetapi, dalam perjalanannya, dia pun menemukan kedamaian hati saat mengikuti kajian agama. Setelah rutin ikut pengajian, perempuan berusia 33 tahun itu percaya, apa yang dikatakan ustaz ternyata bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Dikatakan (ustaz) isigfar bisa melebur dosa dan menahan amarah. Saya coba praktikkan saat sedang emosi. Ajaib. Ketika itu marah saya tertahan. Saya jadi tenang,” ujarnya.

Bukan berhijrah yang sesungguhnya namanya bila tak ada tantangan. Nurul terus meneguhkan hati, mencari ilmu agama sebanyak-banyaknya. Seminggu sekali dia pergi ke pengajian.

Awal 2016 Nurul kembali ke Jakarta. Dia meneruskan studi pascasarjana di sebuah universitas swasta.

Di Jakarta, dia meneguhkan hati untuk menjaga ibadah dan melanjutkan kebiasaannya ikut pengajian. Beruntung, dia memiliki teman yang gemar pula datang ke kajian agama.

“Saya sekaligus ingin membandingkan juga pengajian di kampung dengan di Jakarta,” kata Nurul.

Menurut Nurul, perbedaannya mudah sekali terlihat. Di Madiun, para ustaz bicara tentang akidah, moral, praktik ibadah, dan ilmu lainnya yang aplikatif. Sedangkan di Jakarta, para ustaz lebih dominan bicara pencarian makna hidup, seperti menemukan jodoh atau memilih jalan hijrah.

Nurul pun sadar, saat ini ada pula ustaz yang berpaham radikal, yang gandrung bicara soal politik dan cenderung rasis. Apalagi menjelang Pemilu 2019 seperti sekarang ini. Namun, Nurul tak mau datang ke pengajian yang isi kajiannya berbau politik seperti itu.

Sembari fokus memperbaiki diri sendiri, sebetulnya Nurul juga berusaha mengajak teman-teman lamanya untuk ikut kajian dengannya. Menurut dia, banyak kebaikan yang bisa diperoleh dengan datang ke kajian tersebut. Seperti menambah ilmu, ketenangan hati, dan teman-teman baru.

“Mengajak kepada kebaikan itu kan wajib buat umat Islam,” kata dia.

Namun, apa daya, ajakan Nurul kerap tak bergayung sambut. Mereka banyak yang menolak. Alasannya, takut terbawa aliran-aliran tertentu.

alinea
alinea
alinea
alinea
alinea
alinea

Bertandang ke Majelis Rasulullah

Jalan Raya Kebayoran Lama, Jakarta Selatan sangat sibuk Kamis malam itu. Bak pasar tumpah, pedagang kaki lima yang menjual peci, gamis, parfum, dan makanan, berjejer di sepanjang jalan.

Sejumlah pria mengenakan sarung dan berpeci putih mengatur lalu lintas yang ruwet. Mereka juga membantu menyeberangkan orang-orang. Klakson mobil dan sepeda motor saling sahut.

Di sisi lain, terlihat puluhan pemuda, yang mayoritas mengenakan jaket hitam bertuliskan Majelis Rasulullah di bagian belakangnya, berbondong-bondong menuju gedung Dalail Khoirot melalui Jalan Kompleks Hankam, sebuah jalan yang lebih kecil di Jalan Raya Kebayoran Lama. Mereka pun sebagian besar memakai sarung dan peci putih.

Perempuan mengenakan cadar hitam pun tak asing ditemui malam itu, di sepanjang jalan menuju gedung Dalail Khoirot. Di gedung tersebut, setiap Kamis malam Majelis Rasulullah memang mengadakan pengajian rutin.

Majelis Rasulullah merupakan salah satu majelis zikir dan salawat pemuda terbesar di Jakarta, dipimpin Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa. Majelis Rasulullah didirikan pada 1998.

Saya menyapa salah seorang jemaah perempuan, yang tengah asyik memainkan telepon pintarnya di luar gedung Dalail Khoirot. Namanya Ana. Menurut pengakuannya, sudah dua tahun dia mengikuti pengajian.

“Kalau ada pengajian di tempat lain, saya datangi juga. Ngajinya nggak cuma di sini saja,” kata Ana, yang masih duduk di bangku SMP.

Tak lama kemudian, salah seorang temannya datang. Risma namanya. Perempuan yang malam itu mengenakan cadar dan berkacamata tersebut mengatakan, sudah mengikuti pengajian di Majelis Rasulullah sejak Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa masih hidup.

Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa, sang pendiri Majelis Rasulullah memang sudah tiada sejak 2013 lalu. Sebelum mengembuskan napas terakhir di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada 15 September 2013, Habib Munzir ditemukan keluarganya tak sadarkan diri di kamar mandi rumahnya. Dia wafat karena serangan jantung.

Ana dan Risma mengatakan, mereka mengikuti pengajian memang ingin mencari ilmu. Mereka berdua menjadi teman dan bertemu dalam kepanitiaan acara yang diadakan Majelis Rasulullah, beberapa waktu lalu.

alinea
alinea

Spiritualitas hijrah

Usai ke sejumlah tempat pengajian dan bertemu orang-orang yang mencari ilmu agama, saya pun menemui penulis, dosen, dan presiden direktur Grup Mizan Haidar Bagir di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan.

Haidar mengatakan, hijrah merupakan konsep yang bagus. Namun, Haidar melihat, ada persoalan dalam hijrah yang harus menjadi perhatian.

"Apakah hijrahnya itu ke tempat yang betul? Setidaknya, yang saya lihat sekarang itu, hijrahnya terjadi kepada kelompok yang mengisolasi diri," katanya.

Doktor Filsafat Islam dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia itu mengatakan, pengisolasian diri itu bisa berawal dari rasa kecewa dan penyesalan, karena lingkungan lamanya tidak baik.

Kemudian, Haidar mengingatkan, jangan sampai seseorang hijrah masuk ke dalam kelompok yang sempit, ekslusif, mengisolasi diri, dan mensterilkan diri.

"Hingga akhirnya, dakwah Islam yang tujuannya mencapai rahmatan lil ‘alamin menjadi sempit," kata Haidar.

Lebih lanjut, Haidar menerangkan, di Mesir pernah ada kelompok bernama Takfir wal-Hijra. Kelompok tersebut didirikan Shukri Mustafa pada 1971. Mereka, kata Haidar, mengkafirkan kepercayaan atau kelompok lain. Mereka menganggap, kelompok yang berada di luar lingkaran mereka itu salah.

Pembentukan kelompok eksklusif seperti Takfir wal-Hijra, menurutnya, mengeram potensi perpecahan. Pria kelahiran Solo, 20 Februari 1957 itu melanjutkan, bila semua orang hijrah ke kelompok ekslusif, kelak bisa terjadi gesekan antargolongan. Dia memberikan saran, agar orang-orang yang berhijrah jangan sampai menutup diri.

"Kita harus berpikir, mungkin ada kebenaran di tempat lain," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan pascasarjana di Pusat Studi Timur Tengah Universitas Harvard, Amerika Serikat ini.

Menurut Haidar, prinsip dakwah adalah kebaikan hati, kesantunan, keterbukaan, dan merangkul. Bukan memusuhi. Sebab, katanya, spiritualitas itu sendiri artinya mengikatkan diri kepada Tuhan yang tak terbatas.

“Jadi, kalau kita menganggap ajaran Tuhan itu sempit, hanya untuk kelompok tertentu, itu bukan spiritualitas,” katanya.

Dia mengatakan, Tuhan itu bersifat tak terbatas. Jadi, bila seseorang ingin mengembangkan spiritualitasnya, dia pasti masuk ke wilayah yang lebih luas.

"Bukan justru semakin mengucilkan diri," ujar Haidar.

Haidar juga mengingatkan, saat ini manusia harus lebih siap terhadap keragaman dengan adanya teknologi digital. Menurut dia, dahulu jika seseorang fanatik dengan satu ustaz, orang tersebut akan berkelahi dengan satu ustaz lainnya.

Situasinya sekarang berbeda, dengan era internet yang semakin canggih. Saat ini, lanjutnya, bila seseorang fanatik dengan satu ustaz, maka dia harus siap-siap berkelahi dengan 100 ustaz lainnya. Teknologi digital, katanya, bisa membuat setiap orang bisa mengungkapkan pandangannya.

“Teknologi digitalnya bagus, yang tidak bagus itu sikap orang yang menggunakan sosial media," ujarnya.

Dunia yang fana memang kerap membuat manusia terlena. Mereka kemudian mencari makna hidup di dunia, dan menempuh jalan spiritualitas diri. Misalnya, dengan cara mengikuti aneka kajian agama.

Namun, jangan sampai pemahaman menyoal agama dan kelompok menjadi sempit. Jangan sampai salah berguru atau masuk ke dalam kelompok tertentu yang justru menyimpang.

alinea