Dampak konflik Rusia-Ukraina, krisis energi di Eropa terancam memburuk

Krisis energi di Eropa akan memburuk akibat ketegangan Rusia-Ukraina.

Ilustrasi industri migas. Foto Pixabay.

Ketegangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina tidak hanya berpotensi menimbulkan perang. Akan tetapi juga mengancam sektor energi, khususnya krisis energi di Eropa.

Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan krisis energi di Eropa akan memburuk akibat ketegangan ini. Melalui akun Instagram pribadinya @arcandra.tahar dia mencoba menjelaskan duduk masalahnya.

Menurutnya dalam sepuluh tahun belakangan, Eropa membutuhkan gas bumi sekitar 17 trillion cubic feet (tcf) per tahun. Dari jumlah ini, sepertiga dipenuhi dari gas pipa yang berasal dari Rusia dan sisanya berasal dari impor liquefied natural gas (LNG) dan produksi dari negara-negara Eropa sendiri seperti Norway dan Belanda.

Beberapa perusahaan energi Eropa seperti Shell, BP, dan Equinor melakukan perubahan strategi dengan beralih ke bisnis energi terbarukan. Sehingga produksi gas bumi dari Eropa menjadi berkurang.

"Akibatnya impor LNG semakin meningkat dan ketergantungan gas pipa dari Rusia semakin tak terelakkan. Di sisi lain energi terbarukan yang diharapkan dapat menggantikan energi fosil, belum menunjukkan performa terbaiknya," papar Arcandra dikutip, Rabu (9/2).

Menurutnya lebih dari 25% jalur gas pipa Rusia melewati Ukraina. Lalu sisanya lewat Belarusia, Polandia dan juga lewat laut Baltic. Dengan jalur pipa yang melewati Ukraina, Rusia akan memanfaatkannya untuk menekan balik negara-negara Eropa Barat kalau ada sanksi internasional yang dikenakan ke Rusia.