IESR: PLTA lebih ramah lingkungan dibandingkan PLTU

Sejumlah penelitian terhadap PLTA di dunia menunjukan bahwa PLTA juga menjadi sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK )

Ilustrasi PLTA. Foto Dunia-energi

Indonesia masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam sebagian besar pengadaan listrik. Namun, ke depan pemerintah Indonesia berencana melakukan percepatan transisi ke energi hijau dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). 

Rencana untuk melakukan transisi ke energi ramah lingkungan sudah dinyatakan dalam KTT COP26 di Glasgow tahun lalu.  PT PLN (Persero) juga menargetkan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) dengan total kapasitas 648 Mega Watt (MW) bakal mulai beroperasi pada 2022. Sebab hal ini merupakan bentuk upaya PLN untuk mempercepat transisi energi hijau dan mengurangi emisi karbon.

Menanggapi rencana itu, Fabby Tumiwa, ahli transisi energi dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) beranggapan transisi energi dari PLTU ke PLTA dianggap sangat baik dan lebih ramah lingkungan. “PLTA dianggap lebih bersih dibandingkan pembangkit energi fosil, khususnya batu bara," ujar Fabby kepada Alinea.id saat dihubungi, Rabu (9/2).

Meski begitu, kata Fabby, sejumlah penelitian terhadap PLTA di dunia menunjukan bahwa PLTA juga menjadi sumber emisi Gas Rumah Kaca (GRK ) khususnya metana dan CO2 yang berasal dari dekomposisi material organik. Kemudian terbawa dari hulu dan yang mengendap di reservoir. 

“Ini perlu dicermati dan dipertimbangkan. Tapi secara kasat mata PLTA tidak menghasilkan polusi yang dihasilkan oleh PLTU misalnya gas SOx, NOx, Particulate Matter, dan materi polusi udara lainnya," Imbuh Fabby.