Kembang kempis warteg: Sepi pembeli dan menunggak bayar kontrakan

Puluhan ribu warteg gulung tikar karena penurunan pendapatan sejak awal pandemi Covid-19.

Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.

Hamparan berbagai lauk pauk tersaji dalam nampan-nampan kecil. Dari balik kaca, pengunjung tinggal menunjuk hidangan apa yang akan ada di piringnya.

Begitulah warung tegal (warteg) mengemas bisnisnya. Warung yang identik dengan harga makanan murah ini diperkirakan mulai menginvasi kota besar seperti Jakarta di era 1960-an.

Kini, nasib warteg dipertaruhkan dampak pandemi. Sejak wabah Covid-19 melanda Indonesia, arus kas (cash flow) para pengusaha warteg kian tiris.

Bahkan, pandemi yang tak juga usai membuat usaha mikro kecil menengah (UMKM) warteg semakin sulit bertahan. Hal ini ditandai dengan tutupnya satu per satu warteg di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Bisnis makanan milik sejumlah pendatang asli Tegal dan Brebes ini pun makin di ujung tanduk.

Suratno, pemilik warteg yang akhirnya menutup satu-satunya sumber penghasilan yang dia miliki. Jumlah pelanggan warteg yang terletak di Jalan Raya Cilandak KKO, Ragunan, Pasar Minggu itu terus menyusut. Tentunya, pendapatan warteg pun kian merosot.