Agunan masih menjadi masalah klasik penyaluran KUR

Nilai penyaluran KUR terbilang fantastis, namun KUR masih menuai masalah terkait isu sulitnya akses di kalangan keuangan.

Seorang pekerja membuat perabotan furnitur di industri rumahan mebel di Desa Mojowarno, Jombang, Jawa Timur, Jumat (2/2)/ Antara Foto

Sejak dirilis pada tahun 2007, Kredit Usaha Rakyat (KUR) digadang-gadang menjadi program pengentasan kesulitan kalangan usaha menengah kecil mikro (UMKM) dalam mengakses permodalan ke perbankan. Jika mulanya KUR hanya dapat disalurkan oleh enam bank pelaksanaan, kini telah merambah lembaga keuangan non bank dan koperasi. 

Nilai yang disalurkan juga lebih besar dari semula Rp 30 triliun, sekarang naik lebih dari tiga kali lipat hingga Rp 96,71 triliun. Era Presiden Joko Widodo punya misi mendongkrak akses permodalan UMKM, bahkan saat kampanye pada tahun 2014 menjanjikan akan memberikan bantuan dana sebesar Rp 10 juta kepada UMKM, koperasi dan wanita pengusaha. 

Jokowi kala itu berjanji akan memberikan bantuan modal Rp 10 juta kepada pengusaha untuk menaikkan kelas pengusaha. Harapannya dengan memberikan bantuan tersebut, perekonomian tanah air makin membaik. 

Meskipun nilai penyalurannya terbilang fantastis, rupanya KUR masih menuai masalah terkait isu sulitnya akses di kalangan keuangan. Bank dan lembaga keuangan masih mempersoalkan agunan yang terbilang besar. Belum lagi tebang pilih terkait usaha yang dilakukan calon debitur. 

Theo, petani di Humbang Hasudutan Sumatera Utara berkisah sulitnya dirinya mendapatkan pinjaman KUR untuk modal usaha sayuran yang digelutinya. "Bank tanya punya tanah tidak. Saya jawab punya, lalu dimintakan sertifikatnya, saya jawab adanya girik. Bank menolaknya karena alasan posisinya lebih lemah dibandingkan jaminan akta jual beli," tukas Theo kepada Alinea.id.