Kiprah mindring yang kembali moncer kala pandemi

Ada yang semakin ganas, ada pula yang menjadi lebih lunak.

Mindring atau bank keliling menyasar masyarakat yang tak tersentuh lembaga keuangan formal. Alinea.id/Oky Diaz.

Mindring atau bank keliling. Profesi yang satu ini belakangan sudah jarang terdengar disebut atau mungkin sudah dilupakan sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, pada masa kolonial profesi ini telah menjadi salah satu motor perekonomian bagi masyarakat kecil di perdesaan.

Sekitar awal abad ke-19, ketika pemerintah kolonial memperkenalkan alat tukar mata uang kepada kalangan Bumiputera, profesi mindring atau bank keliling mulai populer di Indonesia. Umumnya, profesi ini dilakoni oleh orang-orang timur asing atau keturunan Tionghoa.

Mereka bergerak secara informal ke kampung-kampung di Pulau Jawa sembari mendorong pedati berisikan barang kebutuhan sehari-hari, seperti baju, celana, gelas, piring, panci dan alat-alat dapur lainnya. Sembari menjajakan dagangan para pelaku mindring ini mengetok-ketok alat bebunyian yang disebut kelontongan, sehingga kalangan tani lebih mengenal mindring dengan sebutan kelontong.

Pada masa itu, masyarakat banyak terbantu oleh kehadiran mindring lantaran skema kredit yang ditawarkan dirasa lebih meringankan rakyat kecil. Selain itu, mindring juga kerap menawarkan pinjaman uang kepada buruh tani untuk modal pembelian pupuk, kerbau dan lain sebagainya.

Tetapi seiring berjalannya waktu, bunga kredit yang kian tinggi dan cara penagihan mindring yang tidak kenal belas kasih mulai dirasa memberatkan bagi masyarakat. Pelan dan pasti, mindring semakin dihindari.