Nasib pilu masyarakat adat, tanah makin sempit terimpit proyek

Sekitar 90% wilayah adat yang telah terverifikasi dan diakui, masuk ke dalam wilayah konflik.

Ilustrasi wilayah adat. Penglipuran, salah satu desa adat di Bali yang terletak di Kubu, Bangli, Bali. Foto Unsplash.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi 1.425 wilayah adat sejak Agustus 2023 hingga 18 Maret 2024, dengan luas wilayah mencapai 28,2 juta hektare (ha). Adapun luas total wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah (pemda) mencapai 240 wilayah adat, dengan luas wilayah mencapai 3,9 juta ha. Luasan tersebut hanya 13,8% dari total wilayah adat yang teregistrasi di BRWA, yang sebesar 19,9 juta ha.

Sementara untuk wilayah hutan adat yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya seluas 244.195 ha, di 131 wilayah adat. Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo bilang, jumlah pengakuan itu jauh lebih rendah dari potensi wilayah hutan adat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang mencapai 22,84 juta ha.

“Pengakuan hutan adat ini sejak Desember lalu tidak ada pengakuan. Kami sebenarnya sedang menunggu hutan adat di wilayah Tapanuli Utara itu ada tujuh, sudah selesai proses verifikasinya, tinggal menunggu SK Menteri LHK untuk penetapannya,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (21/3).

Kata Widodo, capaian-capaian itu menunjukkan lambatnya kerja pengakuan masyarakat dan wilayah adat, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Dari sisi pemerintah daerah, lambatnya penetapan wilayah adat terjadi karena tidak adanya program dan dana yang khusus dianggarkan untuk registrasi wilayah, berikut hutan adat.

Sedangkan dari pemerintah pusat, lambatnya kerja pencatatan wilayah adat terjadi karena tidak adanya komitmen yang kuat untuk mengakui masyarakat dan wilayah adat. “Ini perlu perhatian kita semua, dan juga pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK untuk segera melakukan upaya-upaya percepatan dan perluasan verifikasi wilayah adat,” imbuh Widodo.