Pengamat: Hati-hati memberikan insentif ekspor

Jangan sampai negara tujuan ekspor melihat itu sebagai bentuk dari subsidi ekspor.  

Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah (kanan) bersama Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian Ali Jamil (kedua kanan), Direktur Utama PT Pelindo IV Farid Padang (kedua kiri) dan Kepala Syahbandar Utama Makassar Vicky Subroto (kiri) berjalan saat menghadiri pelepasan ekspor komoditas pertanian di Pelabuhan Sukarno Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (23/2)./AntaraFoto

Guna memperbaiki neraca dagang Indonesia, beberapa upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas ekspor. Namun, sebenarnya apakah kebijakan pemerintah selama ini sudah efektif untuk menstimulasi produktivitas ekspor?

Ekonom UI Fithra Faisal mengatakan, harga barang dan jasa Indonesia, sebenarnya 20% lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga internasional pada umumnya. Hal itu disebabkan karena adanya biaya produksi yang cukup tinggi. 

Adanya insentif fiskal, memang sangat dibutuhkan pengusaha untuk mengompensasi mahalnya biaya produksi fersebut. Entah itu melalui keringanan pajak, atau adanya beban bea keluar untuk ekspor yang dibebaskan, dan sebagainya. 

Tetapi ada kecenderungan masalah baru bisa ditimbulkan dengan adanya kebijakan tersebut. Negara tujuan ekspor bisa melihat itu sebagai bentuk dari subsidi ekspor.  

"Kalau mereka melihat itu sebagai upaya subsidi ekspor, maka mereka bisa melakukan langkah retaliasi (pembalasan). Caranya, melakukan pembatasan impor dari dalam negeri. Hal itu diperbolehkan World Trade Organization (WTO)," kata Fithra menjelaskan kepada Alinea.id, Jumat (1/3).