Serba salah subsidi LPG

Mengganti subsidi LPG menjadi BLT bisa mengurangi beban negara hingga Rp120 triliun.

Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan.

Saban tiga hari sekali, Sri Haryani (41 tahun) harus mengisi ulang tabung gas miliknya agar bisa tetap berdagang. Dia menyetok setidaknya tiga tabung gas liquefied petroleum gas (LPG) 3kg untuk menyalakan kompor di warung kopi (warkop) miliknya dan suami selama kurang lebih 12 jam.

Dalam sebulan, kata Sri, dia harus mengeluarkan uang setidaknya Rp200 ribu untuk membeli gas melon. Harga itu dianggapnya masih cukup terjangkau dibandingkan tabung gas ukuran 12 kg atau 5,5 kg yang harganya terpaut jauh dari tabung gas melon yang biasa dia beli.

“Harganya ‘kan murah ya, Rp20 ribuan. Kalau yang gede-gede itu (gas 12 kg dan 5,5 kg) mahal. Sekitar Rp65 ribu kalau enggak salah yang warna pink itu. Yang gedean (12 kg) sekitar Rp140 ribuan,” cerita Sri saat berbincang dengan Alinea.id di warkopnya, di kawasan Jakarta Barat (15/10).

Sri sendiri mengaku tidak pernah kesulitan mendapat gas melon. Sebab dia termasuk kelompok miskin yang setiap bulannya mendapat bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Lagipula, sambung dia, lokasi agen gas ecerannya tidak jauh dari tempatnya berdagang.

“Kayanya juga enggak ada ditanya-tanya orang kaya atau orang miskin, mas. ‘Kan saya memang sudah langganan,” tambah dia.