Timbang-timbang risiko gagal bank jangkar

Sejumlah risiko menghantui bank jangkar dalam program PEN.

Bank Jangkar akan menjadi penyelamat bagi bank yang membutuhan likuiditas. Alinea.id/Dwi Setiawan.

April 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian sebagai Kebijakan Countercyclical. Melalui aturan ini, OJK meminta agar perbankan dan lembaga keuangan atau perusahaan leasing memberikan kelonggaran kredit kepada para debitur yang terdampak Covid-19.

Tujuannya agar dampak pelemahan ekonomi di sektor hulu dan hilir akibat Covid-19 dapat diredam. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi prioritas dalam program ini.

Namun, dua bulan program itu berjalan, masalah baru ternyata kembali muncul. Likuiditas perbankan, leasing, dan lembaga keuangan yang memberikan restrukturisasi kredit mulai seret. Mereka nyaris kehabisan dana kas untuk mencairkan kredit baru kepada nasabah.

Tercatat, sampai 2 Juni 2020, kredit perbankan yang direstrukturisasi telah mencapai Rp609 triliun dengan nasabah sejumlah 5,9 juta individu maupun perusahaan. 

Tak pelak, pemerintah kembali kelimpungan menghadapi masalah demi masalah yang lahir akibat Covid-19 ini. Rapat digelar tim Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK) yang terdiri dari OJK, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menanggulangi masalah tersebut.