Pandemi Covid-19, sulit menggugat China ke pengadilan

China takkan bisa diseret ke berbagai pengadilan internasional.

Warga menggunakan masker saat menyeberang jalan di tengah pandemi Covid-19 di Beijing, China, Selasa (7/4/2020). Foto Antara/REUTERS/Carlos Garcia Rawlins

Ahli hukum bisnis dan perdagangan internasional Universitas Islam Indonesia (UII), Nandang Sutrisno, menilai, gugatan hukum terhadap China terkait pandemi coronavirus baru (Covid-19) sukar dilakukan. Apalagi, jika melalui mekanisme peradilan setingkat negara bagian di Amerika Serikat (AS).

"Tidak bisa menggugat sebuah negara berdaulat seperti China. Pemerintah China jelas dilindungi oleh doktrin kekebalan kedaulatan sebuah negara bangsa, sama seperti pemerintahan negara lain," ujarnya saat dihubungi, baru-baru ini.

Sekalipun China dianggap terbukti bersalah, belum tentu bersedia membayar ganti kerugian kepada negara-negara penggugat. "Itu merupakan masalah tersediri," ucap dia.

Jika gugatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dilayangkan ke Mahkamah Internasional, terlebih dulu meminta persetujuan "Negeri Tirai Bambu" sebagai sebuah negara. Pengadilan berlangsung setelah ada persetujuan kedua pihak, penggugat dan tergugat. "Apakah China bersedia untuk digugat?" tanya Nandang.

Dirinya mengingatkan, pelaporan pengadilan HAM internasional bersandar pada perjanjian global dan berdasarkan dua hal. Perjanjian HAM internasional (The Treaty Based Mechanism) dan Piagam PBB (The Charter Based Mechanism).