China topang pertumbuhan bisnis Starbucks

Harga kopi yang mahal membuat masyarakat China menilai mengkonsumsi Starbucks dianggap sebagai simbol status kelas menengah atas.

Ilustrasi/Pexels.com

Pada Januari 2009, saat Amerika Serikat (AS) menunggu Presiden baru berkantor, majalah internasional Esquire pernah mempublikasikan interview singkat Alice Cooper yakni penyanyi dan seorang aktor AS yang memiliki khas suara serak. 

Cooper menilai perusahaan-perusahaan di AS segera angkat kaki dari negaranya. Hal ini diawali dengan produsen otomotif kenamaan General Motor atau GM. Menyusul juga toko kopi Starbucks. AS memang ingin Starbucks memperluas pasarnya di luar negara, mengekor GM.

Apa yang dikatakan Cooper benar-benar terjadi. Waralaba kopi ini kemudian sukses di negara lain dan memperkenalkan budaya minum kopi di seluruh dunia. Starbucks telah berada di seluruh tempat yang bisa dijangkau yakni airports, pusat perbelanjaan, area parkir, sudut-sudut jalan hingga di jaringan media sosial. 

Kini kejayaan Starbuck terjadi di China. Starbucks melaporkan pendapatan kuartal pertama fiskal Q1 tahun 2018 di China menguat dengan ditandai penjualan naik 6%. 

Presiden dan CEO Starbucks Kevin Johnson mengatakan bahwa pendapatan di China diperkirakan tumbuh 30% pada kuartal I fiskal 2018. Dia bahkan mengaku gembira dengan pencapaian kopi berlambang putri duyung ini.