Komedian dan batasan-batasan dalam lelucon

Beberapa komedian barangkali percaya, ada batasan mengenai apa yang layak dijadikan lelucon.

Ilustrasi mikrofon stand up comedy./Foto Tumisu/Pixabay.com

Komedian Jarwo Kwat menjadi sorotan usai videonya yang tengah memeluk streamer dan seleb TikTok Catherine Alicia alias Catheez di acara sketsa komedi sebuah kanal YouTube viral di media sosial. Dalam video itu, Jarwo dikisahkan berperan sebagai ayah yang sudah lama tak bertemu dengan anaknya, Catheez. Akibat lawakan itu, Instagram Jarwo diserbu hujatan warganet, yang menilai adegan itu tak pantas.

Jarwo bukan satu-satunya komedian yang pernah “bermasalah” karena lawakannya. Desember 2023 lalu, komika asal Lampung, Aulia Rakhman ditetapkan sebagai tersangka karena kasus dugaan penistaan agama. Ia “tersandung” materi stand up comedy-nya sendiri, yang menyinggung nama Muhammad dalam sebuah acara salah satu calon presiden (capres).

Beberapa komedian barangkali percaya, ada batasan mengenai apa yang layak dijadikan lelucon. Ada pula yang menganggap, menghargai kebebasan berpendapat menjadikan tidak ada topik lelucon yang dianggap tabu.

Menurut the Guilfordian, resistensi terhadap komedi ofensif—yang membicarakan politik, gender, ras, agama, atau seksualitas—terjadi seiring meningkatnya komunikasi melalui internet. The Guilfordian menulis, sering kali bukan orang-orang yang menonton acara komedi dan mendengar lelucon secara langsung yang membuat keributan terkait lelucon tersebut, melainkan orang-orang di internet yang menunggu sesuatu untuk diperdebatkan.

Padahal, sebut the Guilfordian, lelucon bertujuan membuat orang tertawa. Sedangkan komedian membuat lelucon karena itu tugas mereka.