Pembelajaran mitigasi dari erupsi Krakatau yang memicu tsunami

Kejadian Tsunami 1883 menyisakan sejumlah barang bukti peninggalan yang masih bisa ditemukan saat ini.

Anak Gunung Krakatau erupsi pada 2018, saat itu berstatus waspada. Foto: Twitter @OysteinLAnderse

Tsunami tidak hanya dipicu oleh fenomena gempa bumi tetapi juga peristiwa alam lain, seperti erupsi gunung api dan longsor di bawah laut. Seperti halnya tsunami yang pernah terjadi di Indonesia karena letusan dahsyat Gunung Anak Krakatau 2018 dan Gunung Krakatau 1883 atau 138 tahun silam.

Peneliti dari GNS Science New Zealand Aditya Gusman menyebutkan, jika gelombang tsunami bisa terjadi akibat caldera collapse dan pyroclastic flow. Ia juga menjabarkan kejadian Tsunami 1883 menyisakan sejumlah barang bukti peninggalan yang masih bisa ditemukan saat ini. Seperti batu besar koral, sisa-sisa pondasi mercusuar lama yang sampai saat ini ditemukan di Sungai Cianyer, Banten.

"Bagian dari menara mercusuar yang hancur dihantam tsunami dan coral ini masih bisa terlihat hingga kini, coral boulder yang terbawa dari laut oleh tsunami pun masih ada hingga sekarang, " ujar Aditya dalam keterangan tertulisnya.

Dalam pemaparan tersebut, Aditya menekankan pentingnya untuk meneruskan informasi tentang peninggalan tersebut kepada masyarakat yang sekarang, kemudian mempreservasi, menyampaikan pesan kebencanaan dan apa yang terjadi dulu kepada masyarakat sekarang, yang menjadi sangat penting untuk kesiapsiagaan.

Selanjutnya, peneliti dari Brunel University London Assoc Prof Mohammad Heidarzadeh menjabarkan pembelajaran penting dari kejadian Tsunami Krakatau 2018. Ia menyebutkan hampir semua bangunan dalam jarak 100 meter dari bibir pantai hancur akibat terjangan tsunami. Menurutnya kejadian tersebut hampir mirip dengan kasus tsunami Palu, yang harus diperhatikan peringatan dininya. Selain itu dalam memahami potensi bencana geologi, masih diperlukan data-data lainnya yang lebih baik untuk pengkajiannya.