Tradisi mudik lebaran, risiko urbanisasi dan warisan orde baru

Tradisi mudik lebaran sudah melekat pada masyarakat Indonesia.

Tradisi mudik lebaran sudah melekat pada masyarakat Indonesia. / Antara Foto

Setiap tahun, masyarakat Indonesia memanfaatkan momentum idulfitri untuk mudik atau pulang ke kampung halaman. Tujuannya tak lain untuk bertemu orang tua dan keluarga. 

Banyak dari pemudik yang merupakan perantau di kota-kota besar rela merogoh kocek untuk ongkos mudik. Belum lagi, waktu dan tenaga yang harus dikorbankan selama perjalanan. Mudik memang bukan sekadar tradisi, tapi juga kebutuhan.

Silsilah ‘mudik’ banyak mengundang pertentangan. Namun, terminologi ini pada dasarnya merujuk pada perjalanan pulang, menuju ke kampung halaman.

Dosen Universitas Widya Dharma Klaten Nanik Herawati dalam Lebaran menjadi Magnet untuk Mudik bagi Masyarakat Jawa yang dipublikasikan Jurnal Magistra (2015) menulis, kata ‘mudik’ berasal dari bahasa Jawa ngoko, mulih dhilik, yang berarti pulang sebentar. 

Sementara, di Jakarta, tulis Nanik Herawati, istilah ‘mudik’ berurat akar dari kata ‘udik’, artinya kampung atau desa. Sehingga, secara sederhana disimpulkan, mudik adalah kembali ke kampung halaman.