Adat, negara, dan intoleransi

Dharmasraya telah menjadi wilayah penempatan transmigran pada 1965/66, sebuah masa prahara di Indonesia.

Maiza Elvira

Akhir tahun yang buruk di Dharmasraya. Sebuah kabupaten yang terletak persis di tengah Pulau Sumatera ini dihantam isu yang membuat banyak orang (terutama di kota-kota besar) marah: intoleransi!  Dan, isu itu bergulir bagai bola salju di media sosial, dan media-media di Jakarta memberitakannya dengan penuh semangat.

Kabupaten Dharmasraya, daerah yang dilewati Sungai Batanghari di mana di pinggirnya ditemukan arca Amoghapasa (simbolisasi dari masyarakat yang welas asih) satu abad lampau, wilayah yang selama ini tenang dan diam di Lintasan Sumatera, kini jadi bulan-bulanan isu intoleransi beragama sampai membuatnya menjadi trending topic di jagad Twitter.

Benarkah intoleransi tersebut terjadi? 

Baiklah, kita runut kronologinya satu persatu. Isu intoleransi ini muncul karena adanya surat dari Wali Nagari Sikabau yang berada dalam wilayah administratif Kabupaten Dharmasraya, menyatakan ketidaksetujuan Pemerintah Nagari beserta masyarakat akan permintaan penganut agama Katholik di wilayah tersebut, untuk mengadakan perayaan Natal di wilayah tempat tinggal mereka dengan mengundang umat Nasrani dari luar wilayah Sikabau.

Pemerintah Nagari menyarankan untuk merayakan Natal di tempat lain yang memang disediakan untuk melakukan peribadatan dan perayaan, yaitu Gereja. Masyarakat Sikabau dan pemerintah, dalam hal ini Bupati Dharmasraya, kemudian menjadi bulan-bulanan di media sosial, karena dinilai lalai dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan kebebasan kepada warganya dalam menjalankan kehidupan beragama.