Kedaulatan agama

Negeri ini terlalu lugu dan serius jatuh dalam pelukan fundamentalisme: agama dan pasar. Ya. Agama kini bagai monster yang mengerikan.

Yudhie Haryono


Bangsa bertuhan. Bangsa spiritual. Bangsa yang menyadari ada kekuatan adikodrati. Tentu, ini diskursus terpelik sepanjang republik. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan tiba. Entah mengapa, kita tak sudah-sudah berkonsensus untuk bertempur kembali beratus kali.

Indonesia, secara tiba-tiba sering terjerembab di persimpangan jalan yang melahirkan kembali ketegangan dua kiblat moralitas publik: kebangsaan dan keagamaan. Situasi itu terungkap secara gamblang dalam istilah dan semboyan yang dipakai dalam debat publik.

Singkatnya, negeri ini terlalu lugu dan serius jatuh dalam pelukan fundamentalisme: agama dan pasar. Ya. Agama kini bagai monster yang mengerikan. Para pemuka yang garang mendapat tempat longgar di media. Bukan solusi bernegara yang tumpah dari mulut dan fatwanya, tetapi luapan kemarahan tak sudah-sudah.

Seringkali, karena tak kunjung mendapati keadilan hukum dan ekonomi, kita memilih kembali untuk memeluk fundamentalisme agama. Hukum dan ekonomi yang memihak kaum tertentu, golongan kaya dan para penguasa itulah akar-akar kekerasan berbaju agama.

Agama menjadi pelarian, tempat meminta kedaulatan, bungker identitas yang nyaman walau dangkal. Agama menjadi baju, romansa dan alat perlawanan walau sempit dan nirilmuwan.