Matinya etika politik di era post-democracy

Absennya etika akan berdampak besar dalam kehidupan politik berbangsa ke depan. 

Dody Wijaya

Peristiwa unik terjadi pada Pilkada 9 Desember kemarin. Di linimasa media sosial beredar foto surat suara yang di corat-coret pemilih. Beragam tulisan, misalnya “Koruptor”,  “Stop dinasti”, bahkan yang unik “Saya Pilih Naruto” atau menempel wajah bintang K-Pop. Pesan-pesan tersebut adalah tanda bahwa ada problem pada demokrasi kita. 

Saat ini kita berada dalam situasi post-democracy seperti yang dirumuskan oleh Colin Crouch (2004). Institusi dan prosedur demokrasi berjalan, seperti penyelenggaraan pemilu dan pemilihan yang reguler. Namun, partisipasi publik dalam politik yang terbatas dan di dominasi elite. Era ini, juga beriringan dengan matinya etika politik. Absennya etika akan berdampak besar dalam kehidupan politik berbangsa ke depan. 

Post-democracy

Demokrasi Indonesia saat ini mengalami stagnasi,tidak ke arah otorianisme, tidak pula penguatan (konsolidasi) demokrasi. Fase ini lebih tepat disebut post-democracy. Konsolidasi oligarki menggeser partisipasi masyarakat kelas menengah dalam politik. Kaum oligarki membajak demokrasi untuk kepentingan ekonomi mereka. Situasi ini diperkuat apatisme masyarakat terhadap politik dan semakin jauhnya relasi antara partai politik dengan rakyat. 

Post-democracy menurut Crouch yang dikutip Firman Noor (2020) ditandai beberapa hal. Pertama, partisipasi publik bersifat terbatas, misalnya hanya dalam pemilu, itupun lebih banyak karena di mobilisasi dengan politik uang. Kedua, partai politik cenderung menjadi alat kepentingan pemilik partai, daripada sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Akibatnya, partai lebih mengakomodir kepentingan elite, ketimbang kepentingan rakyat.