Peluang intervensi militer di Myanmar

Dunia internasional, terutama negara-negara Barat, lebih memilih pendekatan ‘jalan tengah’.

Mohamad Rosyidin

Kekerasan aparat keamanan Myanmar terhadap para demonstran prodemokrasi kian menjadi-jadi. Puluhan nyawa telah menjadi korban. Banyak video yang beredar menunjukkan aksi kekerasan aparat kepada warga sipil. Dengan kekuasaan masih dipegang kubu militer, stabilitas keamanan di Myanmar tampaknya masih sulit dikatakan kondusif selama beberapa waktu ke depan.

Dunia internasional tidak tinggal diam menyikapi hal itu. Negara-negara Barat menerapkan kebijakan sanksi ekonomi dengan harapan memaksa Myanmar untuk menghentikan aksi kekerasan.

Sementara itu, Indonesia dan ASEAN memilih pendekatan yang lebih lunak dengan upaya diplomasi senyap (quiet diplomacy). Indonesia berharap pemerintahan junta militer Myanmar bersedia menahan diri dari cara-cara kekerasan. 

Akan tetapi, semua pendekatan itu tampaknya tak membuahkan hasil. Pihak militer bergeming pada pendiriannya. Aksi kekerasan juga terus berlanjut. Kubu prodemokrasi mendesak komunitas internasional menerapkan R2P (Responsibility to Protect) untuk memberi lampu hijau bagi intervensi militer. Kyaw Moe Tun, Duta Besar Myanmar untuk PBB dalam pidatonya 26 Februari meminta dunia internasional melakukan segala cara untuk melawan junta militer. Akibat pernyataannya itu, ia dipecat dari kedudukannya di PBB.

Memahami R2P