Penembakan 6 anggota FPI pertaruhan kepercayaan kepada polisi

Peristiwa penembakan terhadap orang sipil yang menghilangkan nyawa enam anggota FPI, dianggap bentuk kekerasan negara terhadap warga negara.

Ari Yusuf Amir

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Shihab (HRS) bersama keluarga (anak dan cucu-cucu), ingin melaksanakan agenda keluarga, yaitu ritual salat Subuh berjemaah di sekitar Karawang, Jawa Barat. Perjalanan keluarga inti HRS dikawal oleh anggota laskar FPI pada Senin (7/12) dini hari. Rombongan tersebut rupanya dikuntit aparat kepolisian. Mereka mengadang rombongan di jalan Tol Cikampek, dan kemudian terjadilah penembakan terhadap enam anak bangsa itu.

Menurut versi kepolisian, sebagaimana disampaikan Kapolda Metro Jaya, anggota laskar FPI melakukan perlawanan dengan senjata tajam dan dua pucuk pistol. Karena itu petugas kepolisian, mengambil tindakan tegas dengan menembak mati keenam anak bangsa dan warga sipil itu.

Penjelasan Kapolda Metro Jaya ini bukanlah sesuatu yang final dan tidak mungkin diamini secara taken for granted. Ini masalah serius. Ini masalah hilangnya nyawa enam orang warga sipil di tangan aparatur kepolisian.

Menkopolhukam harus bentuk Tim independen

Ada dua kelompok di masyarakat yang merespons peristiwa memilukan ini. Kelompok yang membenci dan resisten terhadap HRS dan FPI, termasuk beberapa media massa mainstream, mendukung tindakan kepolisian itu. Mereka menganggap tindakan polisi sudah tepat. Kematian enam warga sipil dan anak-anak bangsa di moncong senjata polisi dipandang pantas, tanpa melihatnya dari perspektif yang lain.