Pilkada upnormal di era new normal, quo vadis demokrasi lokal Indonesia?

Pilkada yang digelar dengan biaya mahal dan risiko tinggi. Sebagian calonnya tunggal itupun produk dinasti.

Dody Wijaya

Berita mengejukan berhembus, di mana 21 pegawai KPU dinyatakan positif Covid-19. Di tengah pilkada serentak yang tetap digelar di tengah wabah. Momentum sirkulasi elite lokal kali ini layak disebut sebagai “Pilkada Upnormal di Era New Normal.” 

Pilkada yang digelar dengan biaya mahal dan risiko tinggi. Sebagian calonnya tunggal, itupun produk dinasti. Pilkada upnormal ini perlu menjadi refleksi. Juga perhatian para pemangku kepentingan untuk menjaga kualitas demokrasi.

Biaya mahal dan risiko tinggi 

Penyelenggaraan pilkada di tengah wabah membutuhkan biaya lebih mahal. Dari anggaran awal Rp9,9 triliun ditambah anggaran tambahan untuk protokol kesehatan Rp4,7 triliun, sehingga total Rp14,6 triliun. Jika daftar penduduk potensial pemilih (DP4) 105 juta pemilih, unit cost per pemilih mencapai Rp138.000.

Pilkada di tengah pandemi juga berisiko tinggi. Menggelar pemilu di situasi normal saja bukan perkara yang mudah. Pemilu 2019 (situasi normal) 894 penyelenggara meninggal dunia dan 5.175 penyelenggara jatuh sakit.