Di balik derasnya berita pekerja media

Jenis pelanggaran yang rentan dialami jurnalis di antaranya adalah hubungan kerja yang tidak standar seperti kontrak dan magang tanpa upah.

Ilustras pekerja media. (foto: Pixabay)

Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap jurnalis tak hanya bersifat fisik, tapi juga non fisik. LBH Pers memaparkan, para jurnalis Femina mendapatkan gaji yang dicicil dua kali tiap tanggal 15 dan 25 tiap bulannya. Bahkan, pada Juli 2016, para pekerja hanya mendapatkan gaji 50% dan sisanya dibayar belakangan. Selanjutnya ketika Idul Fitri 2017, perusahaan hanya membayarkan 70% gaji jurnalis.

Merujuk pada fakta tersebut, kritikus media Ignatius Haryanto menilai sebagai tamparan keras di dunia kewartawanan.

“Perusahaan sekaliber itu, dikelola jurnalis senior, pun berita yang diwartakan mencakup gaya hidup kelas menengah atas. Namun ia begitu tumpul ke bawah, menindas kalangan pekerjanya sendiri,” terang Ignatius kepada Alinea, Jumat (2/2).

Kasus itu hanya sekelumit contoh pelanggaran terhadap jurnalis. LBH Pers mencatat daftar panjang pelanggaran terhadap jurnalis lainnya. Mereka pun mengelompokkan jenis pelanggaran yang rentan dialami jurnalis di antaranya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar seperti kontrak dan magang tanpa upah. Selain itu ada pula PHK sepihak, upah di bawah rata-rata, dan pemberangusan serikat buruh.

Khusus masalah terakhir, serikut buruh di Femina menjadi wadah penggalangan kekuatan.