Coretan di dinding buat resah rezim

Di zaman Orde Baru, geng remaja gemar mencoret tembok-tembok kota.

Ilustrasi coretan dinding. Alinea.id/Firgie Saputra.

Di dalam album Belum Ada Judul yang dirilis pada 1992, salah satu lagu yang dibawakan musikus Iwan Fals bertajuk “Coretan Dinding”. Lagu itu berkisah keresahan pembuat coretan dinding dan pembacanya. Tampaknya, lagu itu menjadi relevan jika melihat penghapusan grafiti dan mural yang bernada sindiran penanganan pandemi di ruang publik beberapa waktu belakangan.

Syahdan, zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), di samping mural dan poster, grafiti—coretan di ruang publik dalam berbagai bentuk dan warna—menjadi salah satu kampanye menggelorakan semangat kemerdekaan serta menentang kedatangan Belanda dan Sekutu.

Para pemuda menulis di tembok-tembok, trem, dan kereta api dengan coretan pembakar semangat. “Dengan sekejap mata, Kota Jakarta telah berubah rona, dari sebuah kota yang mati menjadi kota yang bernapaskan revolusi,” tulis buku Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 (1983).

Contoh tulisan-tulisan itu, di antaranya “Indonesia Never again the Life Blood of any Nation”, “Merdeka ataoe Mati”, “Sekali Merdeka tetap Merdeka”, “Freedom is the Glory of any Nation, Indonesia for Indonesians”, “Teroes Berdjoeang”, dan sebagainya. Lambat laun, ketika masa pemerintahan Sukarno, grafiti bertransformasi menjadi kritik terhadap pemerintah.

Kenakalan geng remaja