Konflik Laut China Selatan berpotensi sebabkan perang regional

Dari 16 transisi hegemoni, hanya empat saja yang tidak menyebabkan terjadinya perang.

Ilustrasi kapal induk Amerika Serikat/Foto Pixabay.

Konflik di Laut China Selatan yang melibatkan Amerika Serikat dan China berpotensi menimbulkan bentrokan senjata. Hal itu berdasarkan pengalaman sebelumnya, yang mana dari 16 transisi hegemoni, hanya empat saja yang tidak menyebabkan terjadinya perang.

"Kita menuju transisi ke-17 hegemoni, yang saat ini melibatkan antara Amerika Serikat dan China. Sebagian besar transisi hegemoni diikuti perang. Hanya empat yang tidak perang besar," kata Dosen Fisip UI Andi Widjajanto, dalam diskusi 'Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi', Sabtu (20/6).

Biasanya perang besar didahului tiga hal, yakni ada negara yang membangun industri pertahanan dalam jangka panjang, terjadinya resesi ekonomi yang menyebabkan penguasaan sumber daya energi menjadi terbatas, serta adanya keyakinan negara memenangkan perang karena kapasitas teknologi baru yang mereka miliki.

Seperti diketahui, China dan AS terus membangun industri pertahanan untuk kepentingan jangka panjang. Di sisi lain, dunia juga sedang diambang resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Itulah sebabnya semua pihak, terutama Indonesia, harus terus mengamati perkembangan konflik di Laut China Selatan.

Tetapi dia menegaskan, sejarah juga mencatat perang terjadi bukan ketika terjadi krisis. Tetapi ketika dalam proses memulihkan diri dari krisis. Perang AS dan Jepang terjadi ketika kedua negara sedang dalam kondisi memulihkan ekonomi dari krisis. Di mana ada kebutuhan mencari sumber daya yang terbatas.