Rentan lancung filantropi di balik regulasi usang dan kendurnya pengawasan

Lembaga filantropi masih memakai regulasi yang sudah usang, pengawasan dari pemerintah pun dianggap minim.

Ilustrasi filantropi. Alinea.id/Debbie Alyuwandira

Bermula dari aktivitas sosial membantu warga yang terdmpak krisis ekonomi tahun 1998, terbentuklah organisasi Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ) di Bandung, Jawa Barat pada 2 Juli 1998. DSUQ adalah cikal-bakal lembaga filantropi keagamaan Rumah Zakat Indonesia.

“Yang dilakukan awal-awal adalah menjembatani para donatur untuk memberi bantuan beasiswa kepada anak-anak yang layak dibantu,” ujar Direktur Pemasaran Rumah Zakat, Irvan Nugraha, saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (14/7).

Saat itu, DSUQ sifatnya masih sukarelawan. Masyarakat yang bergabung di dalamnya tak terikat sebagai pegawai. Menurut Irvan, lembaga itu bertahan dalam masa krisis ekonomi karena adanya dorongan yang kuat dalam menjembatani kebaikan.

“Akhirnya karena kegiatan sosial ini diketahui secara meluas, maka bertambah donatur,” ujarnya.

Seiring dengan kepercayaan masyarakat, kegiatan kemudian berkembang ke program kesehatan dan pemberdayaan berkelanjutan. Pada 2003, DSUQ bersalin nama menjadi Rumah Zakat Indonesia. Sejak 2005, Rumah Zakat dikelola menjadi lembaga profesional. Akhir tahun 2007, organisasi ini menjadi Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas).