Saat Soeharto bandingkan harga bensin dengan secangkir teh

Pemerintahan daripada Orde Baru di bawah Soeharto dengan berani menaikkan harga bensin di awal kekuasaan.

Ilustrasi pompa bensin. Alinea.id/Debbie Alyuwandira via Pixabay.com

Pemerintahan Sukarno yang kian kehilangan simpati di mata rakyat akibat krisis politik—menyusul tragedi 30 September 1965—dan ekonomi, malah membuat blunder. Pada Desember 1965, peraturan baru di bidang moneter justru membuat segalanya runyam.

Penulis dan aktivis 1966 Soe Hok Gie mengungkapkan, ketika itu menteri Kabinet Dwikora mengeluarkan peraturan menurunkan nilai mata uang rupiah. Uang Rp1.000 disamakan dengan Rp1. Uang kertas Rp10.000 dan Rp5.000 ditarik dari peredaran dalam waktu sebulan.

Akibatnya, harga membumbung beratus-ratus persen dalam waktu seminggu. Kekacauan ini ditambah dengan menaikkan tarif kendaraan umum rata-rata 500%-1.000%. Beras naik rata-rata 300%-500%.

“Mahasiswa terpukul sekali, terutama dengan naiknya tarif angkutan umum,” kata Soe Hok Gie dalam tulisan “Di Sekitar Demonstrasi-demonstrasi Mahasiswa di Jakarta” termuat di buku Zaman Peralihan (2005).

Saat itu, menurut Hok Gie, pemerintah menaikkan pula harga bensin, dari Rp4 per liter menjadi Rp1.000 per liter. Menurut Soeharto dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), kenaikan harga bensin menyebabkan karcis bus naik dari Rp200 menjadi Rp1.000.