Sempat hilang, difteri kini menyerang lagi

Menkes menganggap difteri sebagai kejadian luar biasa (KLB) dan melaksanakan vaksinasi di berbagai wilayah.

Penanganan pasien difteri. (foto: Antara)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes), telah menetapkan difteri sebagai kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Pada 1990, Indonesia dinyatakan bebas difteri dan sempat terjadi lagi dan dapat di atasi pada 2013. Namun, kasus tersebut kini terjadi lagi.

Pakar kesehatan anak di Rumah Sakit Umum Pusat dr Kariadi Semarang, Dokter Hapsari, memaparkan dua dampak mematikan dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan menular melalui saluran nafas tersebut.

“Jadi kumannya nempel di tonsil, amandel. Gejalanya demam yang tidak tinggi, lemah lesu, dan nyeri telan," jelas Hapsari seperti dikutip dari Antara, Kamis (14/12).

Keberadaan kuman tersebut akan merusak amandel, sel-sel darah merah, hingga membentuk selaput yang semakin besar dan membuat pengidapnya mengalami sesak nafas. Bahkan, jika selaput di tenggorokan sudah menempel amandel dan menutup masuk ke dalam, maka harus dilakukan trakeostomi atau pembedahan.

Selain itu, toksin atau racun yang disebabkan kuman difteri juga bisa menyerang organ lain seperti jantung, otot mulut, hingga ginjal sehingga dampaknya mematikan.

Meski demikian, Hapsari mengingatkan upaya antisipasi dari penularan difteri. Caranya ialah mewaspadai "carrier", yakni orang yang tidak menunjukkan gejala atau memiliki penyakit aktif, tetapi membawa dan menularkan.

"Yang membawa bakteri atau kuman ini tidak sakit, tetapi bisa menularkan ke orang lain. Difteri kan penularannya langsung. Makanya, justru membahayakan kalau 'carrier' ini," sambungnya.

Saat ini, sebanyak 20 provinsi telah melaporkan kasus difteri. Gejala penularan penyakit difteri diantaranya suara serak, tenggorokan terasa sakit, nyeri saat menelan, kesulitan bernapas, kelenjar getah bening di leher membengkak, tenggorokan dan amandel tertutup oleh membran berwarna abu-abu, demam dan menggigil.