Setya Novanto dan babak baru kasus e-KTP

Pengacara Setya Novanto mempertanyakan hilangnya 3 nama dalam dakwaan kliennya.

Setya Novanto di Pengadilan Tipikor. (foto: Antara)

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mendakwa Setya Novanto menerima keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek e-KTP.

Uang itu bersumber dari Johannes Marliem yang merupakan Direktur Utama PT Biomorf Lone Indonesia selaku penyedia Automated Fingerprint Identification System (AFIS) merk L1 dan Anang Sugiana Sudiharsa sebagai Direktur Utama PT Quadra Solutions sebagai anggota konsorsium PNRI sebagai pemenang pengadaan e-KTP.

Setya Novanto pun dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur penyalahgunaan wewenang dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Dan hari ini, Kamis (14/12), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, menggugurkan gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto atas penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pertimbangannya, hakim tunggal praperadilan, Kusno merujuk Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 102/PUU/VIII/2016.

Tentang gugurnya gugatan itu, pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail sudah memprediksi saat kliennya menghadiri sidang dakwaan, kemarin. "Saya kira pembacaan surat dakwaan untuk menggugurkan praperadilan," jelas Maqdir, Rabu (13/12).