Tolak privatisasi, Serikat Pekerja PLN surati Jokowi

Buruh tolak hilangnya penguasaan negara pada sektor ketenagalistrikan dengan cara privatisasi atau swastanisasi.

Ilustrasi instalasi listrik/flickr.com

Serikat Pekerja (SP) PT. PLN, Persatuan Pegawai PT. Indonesia Power, dan Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa-Bali surati Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait sikap bersama penolakan holdingisasi dan IPO. Sebab, privatisasi melalui holdingisasi dan IPO di sektor ketenagalistrikan Indonesia dinilai berpotensi melanggar konstitusi.

Pengiriman surat itu merespons instruksi Presiden Jokowi pada Januari 2017 di acara Executive Leadership Program bagi Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam pidatonya, Jokowi menyatakan, pembentukan holdingisasi BUMN harus taat peraturan perundang-undangan.

Serikat Pekerja PLN Group kemudian menolak hilangnya penguasaan negara pada sektor ketenagalistrikan dengan cara privatisasi (swastanisasi). Mereka merujuk pada Judicial Review UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan Judicial Review UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan di mana Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, tenaga listrik termasuk cabang produksi penting bagi negara karena menguasai hajat hidup orang banyak.

Serikat Pekerja menilai, jika program Subholding dan IPO tetap dilaksanakan, maka akan menambah pembelian listrik yang pada gilirannya meningkatkan subsidi dan kompensasi negara kepada PT. PLN (Persero). Ketika negara tidak mampu lagi memberi subsidi, beban usaha akan diteruskan kepada harga jual listrik ke masyarakat.

“Hal ini tentu saja sangat merugikan masyarakat karena rakyat harus membayar harga listrik lebih mahal melebihi kapasitas yang diperlukan sebagai akibat dari kewajiban pembelian take or pay (TOP) listrik swasta sebesar minimum 70% oleh PT. PLN (Persero) di saat kebutuhan listrik masyarakat hanya sebesar 53%,” ujar Ketua Umum DPP SP PLN Persero Muhammad Abrar Ali dalam keterangan tertulis, Senin (2/8).