Jawa Barat selalu menempati ranking tertinggi sebagai provinsi dengan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terbanyak di Indonesia
Kasus-kasus tindakan intoleran kembali terulang. Belum lama ini, warga setempat membubarkan kegiatan retret umat Kristiani di Kampung Tangkil, RT 4 RW 1, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Warga juga merusak rumah singgah yang dijadikan tempat retret.
Juni lalu, kasus tindakan intoleran dalam rupa pelarangan diskusi publik tentang Ahmadiyah terjdai di kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado. Selain itu, ada tindakan diskriminatif terhadap jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kota Banjar, Jawa Barat. Dua peristiwa intoleransi ini terjadi dalam waktu berdekatan, yaitu pada 2 dan 5 Juni 2025.
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Prof. Sukron Kamil menilai tindakan warga merusak rumah singgah untuk retret umat Kristiani di Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi merupakan sentimen yang disulut kesenjangan ekonomi. Menurut Sukron, Sukabumi memang sejak lama punya rekam jejak pemeluk Islam yang agak intoleran dengan non-Muslim.
"Jadi, mereka dari kalangan beruntung sementara, masyarakat muslim di perkampungan memang ekonominya dari kalangan rendah. Tetapi, kalau mau lihat perspektif keagamaan, dalam konteks ini, saya kira, sosialisasi keragaman dalam perspektif Islam itu harus diperkuat. Di dalam Islam fiqih tradisional sekalipun, non-Muslim itu memiliki kebebasan beragama baik di ruang privat dan ruang publik," kata Sukron kepada Alinea.id, Kamis (3/7).
Keyakinan dasar agama Islam, kata Sukron, sesungguhnya menghindari kekerasan jika tidak diperangi. Ia mencontohkan riwayat Nabi Muhammad SAW dalam perjanjian Hudaibiyah yang menggunakan cara-cara damai untuk membuat kaum kafir Quraisy melunak.