sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ambrol 11%, IHSG jadi bursa saham terburuk di dunia

Gempuran dari pasar global dan kondisi ekonomi nasional, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah ambrol 11% dari level tertinggi.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Sabtu, 18 Mei 2019 06:34 WIB
Ambrol 11%, IHSG jadi bursa saham terburuk di dunia

Gempuran dari pasar global dan kondisi ekonomi nasional, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah ambrol 11% dari level tertinggi. IHSG menjadi bursa saham dengan kinerja terburuk di dunia sejak awal tahun ini.

Berdasarkan catatan Alinea.id, IHSG menyentuh level tertinggi pada 6 Februari 2019 di level 6.547,87. Tekanan terbesar terhadap lantai bursa terjadi sejak awal Mei 2019.

Tercatat, IHSG sudah terjerembab 9,73% dari level 6.455,35 pada penutupan perdagangan akhir April 2019. Padahal, Mei berjalan belum genap sebulan dan telah membuat IHSG jauh lebih rendah dari penutupan akhir tahun lalu.

Pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (17/5), IHSG ditutup kembali menukik 1,17% sebesar 68,87 poin ke level 5.826,87. Penutupan perdagangan akhir pekan ini membuat IHSG lebih rendah 5,93% dari akhir tahun lalu (year-to-date/ytd).

Investor asing kembali melepas portofolio di lantai bursa. Aksi jual bersih investor asing masih terbilang tinggi mencapai Rp789,29 miliar. Capaian itu membuat net buy investor asing menipis menjadi Rp57,41 triliun sejak awal tahun.

Seluruh sektor jeblok. Bahkan, koreksi terdalam terjadi pada sektor industri kimia dasar sebesar 19,24%. Disusul oleh aneka industri yang juga amblas 15,88% sejak awal tahun.

Koreksi 5,93% sejak awal tahun, membuat IHSG menjadi indeks saham dengan kinerja terburuk di dunia. Tak sendirian, kinerja bursa saham Malaysia juga menjadi terburuk kedua dengan koreksi 5,04% ytd.

IHSG pada Jumat (17/5). Bursa Efek Indonesia

Sponsored

Gempuran terhadap IHSG

Tak sampai di situ, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data neraca perdagangan Indonesia yang berakhir defisit sepanjang April lalu. Defisit senilai US$2,5 miliar ini merupakan angka tertinggi sejak April 2013.  

Analis PT Reliance Sekuritas Lanjar Nafi Taulat Ibrahimsyah menilai pengaruh difisit neraca perdagangan yang berada di angka US$2,5 miliar ini menjadi awan ketakutan para investor. Sebab, defisit neraca perdagangan ini berarti melambatnya aktifitas ekspor di tengah tensi perdagangan global.

“Investor pesimistis pada perdagangan di bulan Mei yang aktivitas ekspornya lebih sepi daripada impor,” kata Lanjar melalui sambungan telepon, Jumat (17/5).

Selama 12 hari perdagangan di bulan Mei, level IHSG tercatat dominan berada di zona merah. Pada 30 April lalu, IHSG masih berada di zona hijau pada level 6.455,35 atau naik 0,46% dari hari sebelumnya. 

Melihat laju IHSG yang terus berada di zona merah, Analis PT Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan situasi dan kondisi global yang tidak memungkinan turut memengaruhi laju IHSG.

“Namun, situasi dan kondisi lokal juga sama buruknya dengan global. Hal ini yang mendorong pasar bereaksi negatif, tidak hanya Indonesia saja tapi semua negara termasuk zona Amerika,” kata Nico secara terpisah.

Nico melanjutkan, ketika Amerika Serikat dan China sibuk melakukan perang dagang, politik dalam negeri Indonesia juga kian memanas jelang pengumuman hasil pemilihan presiden 22 Mei 2019. Hal inilah yang membuat investor asing melakukan capital outlflow.

Para pelaku pasar, baik asing maupun lokal, kata Nico, semuanya menunggu hingga 22 Mei usai. “Pekan depan jadi pekan yang menentukan, ditambah lagi setelah itu kita libur panjang. Hal ini juga membuat orang semakin malas untuk bertransaksi,” ujarnya.

Aksi jual investor asing di lantai bursa. /  BEI

Intrik politik

Lanjar Nafi memerkirakan laju IHSG pada pekan depan masih mencoba bergerak menguat di awal sesi. Sentimen negatif, lanjut Lanjar, akan lebih banyak pada pekan depan menyusul pengumuman hasil pemilu presiden.

“Intrik-intrik politik masih sangat terasa, investor akan menahan diri pada aset berisiko di Indonesia seperti saham,” ujar Lanjar.

Selain itu, Lanjar juga memprediksi dampak defisit neraca perdagangan akan terasa hingga usai lebaran. Momentum lebaran dan libur panjang ini, lanjut Lanjar, merupakan waktu yang tepat bagi investor untuk profit taking.

“Takutnya di saat libur panjang terjadi hal penting di luar, melihat tensi perdagangan kian memanas,” tutur Lanjar.

Senada dengan Lanjar, Nico melihat kemungkinan penurunan transaksi pada perdagangan pekan depan masih terjadi, ditambah tekanan jual yang tetap mendera IHSG.

“Kami melihat kata kunci support di sana 5.725, tidak boleh turun lebih dari itu,” kata Nico.

Lanjar pun menyarankan untuk memperhatikan saham-saham produsen minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan perbankan, seperti AALI, LSIP, BBNI, BBRI, dan BBTN.

Kendalikan impor

Pada kesempatan berbeda, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman dalam keterangan resmi mengatakan, solusi jangka pendek untuk menghadapi defisit neraca perdagangan yang paling efektif dan selalu digulirkan, adalah dengan mengendalikan impor. 

Namun dalam mengendalikan impor, lanjut Assyifa, perlu kehati-hatian karena impor Indonesia saat ini masih didominasi oleh impor bahan baku dan barang modal. Kedua impor tersebut biasanya diperlukan untuk proses produksi dalam negeri. 

"Mengendalikan dua jenis impor ini dapat berpengaruh terhadap kinerja sektor industri dan manufaktur nasional," kata Assyifa.

Walaupun pengendalian impor dapat diandalkan, kata Assyifa, hal ini tidak bisa digunakan selamanya untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Assyifa menyarankan pemerintah melakukan pendekatan yang lebih struktural. 

"Seperti perubahan regulasi yang sifatnya meningkatkan daya saing industri dalam negeri, untuk bisa meningkatkan nilai jual barang ekpsornya," tutur Assyifa.

Berita Lainnya
×
tekid