sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Auto reject, keberhasilan underwriter jaga psikologis investor

Investor akan mellihat history underwriter ketika membeli saham perdana

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Rabu, 19 Sep 2018 12:37 WIB
Auto reject, keberhasilan underwriter jaga psikologis investor

Perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia sepanjang 2018 sebanyak 36 emiten. Sebagian emiten yang baru Initial Public Offering/IPO tersebut, sahamnya langsung di auto rejection oleh sistem Jakarta Automated Trading System (JATS).

Auto Rejection merupakan pembatasan maximum dan minimum untuk kenaikan dan penurunan harga suatu saham di Bursa Efek Indonesia dalam satu hari. Tujuannya menciptakan perdagangan yang wajar.

Pada pencatatan perdana PT Transcoal Pacific Tbk. (TCPI) di BEI pada 6 Juli lalu, saham TCPI naik 96 poin atau 69,57% ke level 234 dari harga perdana Rp138.

Adapun, PT MD Pictures Tbk. (FILM) yang mencatatkan sahamnya pada 7 Agustus lalu. Sahamnya naik saat perdana melantai di bursa sebesar 49,52% ke level 314 dari harga penawaran 210 per saham.

Kemudian, saham PT Andira Agro Tbk. (ANDI) yang melantai pada 16 Agustus. Saat perdana melantai di bursa, saham ANDI menguat 70% ke level Rp340 dari harga penawaran Rp200 per lembar saham.

Selanjutnya saham PT Madusari Murni Indah Tbk. (MOLI) yang alami autorejection saat perdana melantai di bursa 30 Agustus lalu. Saham perusahaan produsen ethanol ini naik 290 poin atau 50% ke level Rp870 dari harga pelaksanaan awal yaitu Rp580.

Terbaru adalah dua perusahaan yang listing pada Kamis (18/9) listing di BEI.  Yakni, PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk. (PANI) dan PT Arkadia Digital Media (DIGI). Saham PANI alami kenaikan 75 poin atau 69,44% ke level Rp184 dari harga penawaran Rp180. Sedangkan DIGI alami kenaikan 140 poin atau 70% ke level Rp340 dari harga penawaran Rp 200.

Founder and Directur Jagartha Advisors FX Iwan mengungkapkan, jumlah emiten di Indonesia masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan negara maju. 

Sponsored

“Hal ini mengakibatkan euforia investor ketika banyak saham sektor baru, listing atau IPO di pasar saham. Euforia tersebut menjadi dorongan bagi investor untuk tidak ketinggalan mengoleksi saham baru yang mulai IPO dan cenderung memberikan kinerja yang positif bahkan sampai mencapai autoreject,” ungkap Iwan saat dihubungi Alinea.id, Kamis (18/9).

Jika dilihat secara positif, hal itu merupakan keinginan investor melakukan diversifikasi. Terutama bagi sektor baru yang sebelumnya belum ada di pasar saham Indonesia.

“Sebagai contoh sektor yang tekait dengan teknologi atau fintech. Selama ini belum banyak di pasar saham. Ketika ada saham sektor tersebut listing, langsung mendapatkan peningkatan permintaan yang luar biasa. Beberapa waktu yang lalu, kita juga melihat saham emiten di sektor entertaiment (FILM), juga menjadi salah satu primadona,” terangnya.

Jadi wajar jika sektor baru bermunculan di pasar saham dan kemudian langsung mengalami auto reject atau mengalami demand berlebih dari investor.

Investor pasar modal membutuhkan proxy untuk investasi ke perusahaan-perusahaan digital yang jumlahnya masih sangat terbatas di bursa. “Masuknya PT Arkadia Digital Media Tbk. (DIGI) memberikan tambahan bagi investor pasar saham untuk bisa berpartisipasi dalam pertumbuhan perusahaan digital saat ini,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Head Of Investment Research di PT Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, ketika IPO harga saham perdana cenderung terus menurun.

"Kalau di awal IPO tidak naik, investor akan takut membeli. Selanjutnya underwriter harus menjaga agar tidak jatuh, karena psikologi investornya seperti itu," jelas Wawan saat ditemui di Gedung BEI, Selasa (18/9).

Biasanya investor akan mellihat history underwriternya ketika membeli saham perdana. Hal itulah yang membuat pencatatan saham perdana emiten terkena auto reject.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid