sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BI diimbau tidak menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini

Selisih yield Indonesia dengan AS relatif tinggi dan cukup. Terbukti dengan mulai masuknya dana asing yang mulai menggeliat kembali.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 15 Agst 2018 09:59 WIB
BI diimbau tidak menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini

Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil rapat dewan gubernur (RDG) bulanan pada hari ini. Setelah bulan lalu, Bank Indonesia tetap mempertahankan BI7DRR sebesar 5,25%, pada bulan ini, BI diprediksi akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya. 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, memperkirakan, BI mempertahankan suku bunga acuan, sebab The Fed juga telah mengumumkan tidak menaikkan suku bunga. 

Lagi pula, selisih yield Indonesia dengan AS relatif tinggi dan cukup. Terbukti dengan mulai masuknya dana asing yang mulai menggeliat kembali. Hanya saja, Indonesia masih belum mampu menekan impor, di tengah pelemahan rupiah terhadap dollar saat ini.  

"Suku bunga itu bukan masalah (bagi Indonesia), kelemahan kita bukan di suku bunga. Kelemahan kita itu memang permintaan impor yang masih tinggi," jelas Piter saat dihubungi Aline.id.

Jika persoalan utamanya suku bunga, solusinya adalah menyuplai dollar melalui skema penyimpan dan konversi rupiah devisa hasil ekspor oleh eksportir. 

Senada dengan itu, Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, memproyeksikan, BI mempertahankan 7days repo di level 5,25%. Sementara dalam menghadapi rupiah, BI juga masih mengandalkan cadangan devisa. 

Kendati begitu, Bhima mengimbau, agar BI bisa menaikkan lagi suku bunga acuan sebesar 25 bps pada September. 

"Tidak ada kejuatan dari BI pada bulan ini sehingga ekspektasi pasar cenderung menahan diri. BI disarankan menaikkan bunga acuan 25bps pada RDG September, sekaligus mengantisipasi kenaikan Fed rate," papar Bhima. 

Sponsored

Sementara itu, Pengamat Perdagangan Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal, menjelaskan, masalah BI pada saat ini adalah persoalan momentum. 

Apabila suku bunga dinaikkan tidak secara agresif dan tidak sesuai momentum. Oleh sebab itu, ada baiknya BI tidak terlalu tinggi menaikkan suku bunga acuan atau hanya 25 bps per kenaikan. 

"Ada faktor ekspektasi di situ. Pasar kemudian melihat ada kepanikan. Akibatnya faktor ekspektasi menjadi jauh lebih besar daripada faktor teknisnya," jelas Fithra. 

Oleh karena itu, yang harus dilakukan BI adalah menunggu momentum. Apabila rupiah semakin terdepresiasi, akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi karena mengakibatkan perkembangan bisnis terkendala. 

Selain itu, pemerintah juga harus mengurangi belanja barang untuk infrastruktur.  Selama ini, belanja infrastruktur merupakan komponen terbesar dalam impor. Pada akhirnya mebuat transaksi berjalan defisit (current accounnt defiist - CAD)

"CAD semakin lebar, sekarang sudah 3%. Maka tekanan ke rupiah juga semakin besar," pungkas Fithra.

Berita Lainnya
×
tekid