sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BI imbau perbankan tidak naikkan suku bunga

Gubernur BI beralasan likuiditas perbankan cukup, tidak ada alasan perbankan belomba-lomba menaikkan suku bunganya.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 30 Mei 2018 16:34 WIB
BI imbau perbankan tidak naikkan suku bunga

Bank Indonesia mengimbau sektor perbankan untuk tidak berlomba-lomba menaikkan suku bunga depositonya, pascadinaikkannya suku bunga acuan BI untuk kedua kalinya di bulan ini menjadi 4,75%. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan akan memastikan kepada perbankan, kalau likuiditas rupiah dan valas masih dalam batas cukup. Jadi perbankan tidak perlu mengkhawatirkan terjadinya pengetatan likuiditas.

Menurut Perry, suku bunga deposito tak perlu dinaikkan untuk merebut dana masyarakat. Dengan demikian, suku bunga kredit juga tak ikut terkerek. 

"Mestinya suku bunga kredit tidak ada kenaikkan," tegas Perry, Rabu (30/5) usai memaparkan kenaikan BI 7Day Rate Repo di kantornya. 

Bank Indonesia bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga akan memperkuat efisiensi di perbankan. Sekaligus, memastikan kenaikan suku bunga acuan tidak diikuti merangkak naiknya suku bunga deposito atau suku bunga kredit. 

Selain itu, Bank Indonesia juga meminta kepada ekonom, baik di pasar obligasi maupun pasar saham, agar tidak mengartikan kenaikan suku bunga menjadi penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi. Pasalnya transisi yang harus dilalui panjang, yakni rata-rata 1,5 tahun. 

BI juga akan mengkaji dan melakukan assesment mengenai langkah makroprudensial, pendalaman pasar keuangan, sistem pembayaran, ekonomi syariah yang bisa mendorong pertumbuhan. Termasuk di antaranya yaitu melonggarkan loan to value (LTV) tentunya tetap dalam prinsip prudential. Dengan begitu, sektor perumahan yang menjadi leading setor bisa meningkat, dan ekonomi akan meningkat. 

Di kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara mengklaim kenaikan suku bunga acuan ini sudah dilakukan melalui perhitungan yang terukur. 

Sponsored

Sebagai perbandingan, pada 2013 Indonesia menghadapi taper tanturm. Pada saat itu, terjadi perpindahan dana besar-besaran dari negara berkembang ke negara maju, khususnya AS. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) saat itu mencapai 4,3%. Selain itu, pemerintah juga melakukan penyesuaian harga BBM, inflasi meningkat pesat, sehingga BI melakukan penyesuaian di suku bunga. 

"Sekarang kan kita baru tahap soft recovery. Bank Indonesia melakukan penyesuaian dengan merespons apa yang terjadi di eksternal, yang berasal dari kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed dan masih naik terus sampai akhir 2019," jelas Mirza.

Suku bunga fed fund rate yang sekarang berada di level 1,75%, diperkirakan bisa mencapai hingga 3% atau 3,25%. Selain itu, dengan mempertimbangkan adanya US Treasury yield yang mungkin bisa naik, dimana saat ini berada di kisaran 3,1%, 2,8% atau di level 2,9%, akan mendorong meningkatnya defisit perekonomian AS. "Sehingga US Treasury yield bisa naik lebih dari 3%," tutur dia. 

Hal tersebut, kata Mirza, diperkirakan berimbas kepada Indonesia dengan terjadinya capital outflow di pasar modal. Oleh sebab itu, BI pun harus melakukan respons kebijakan moneternya, karena kondisi perekonomian makro di Indonesia bukan termasuk ke dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 

"Pertumbuhan kita masih 5,1%, kredit masih tumbuh 7% - 8%, CAD juga masih di bawah 2,5%," ujar Mirza.  
 

Berita Lainnya
×
tekid