sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Biang kerok rekor terburuk defisit neraca perdagangan RI

Laju impor yang lebih kencang ketimbang ekspor menjadi biang kerok defisit neraca dagang mencapai rekor terburuk sepanjang sejarah.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Kamis, 28 Feb 2019 23:58 WIB
Biang kerok rekor terburuk defisit neraca perdagangan RI

Laju impor yang lebih kencang ketimbang ekspor menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan mencapai rekor terburuk sepanjang sejarah.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menilai, menurunnya angka ekspor Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

Dari sisi internal, keberadaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank belum maksimal. Pasalnya, regulasi yang ada saat ini dianggap tidak fleksibel.

"Karena argumentasi diawasi oleh OJK, maka implementasinya diberlakukan seperti bank biasa. Ini yang menurut saya membuat tujuan pembentukan lembaga pembiayaan ekspor itu tidak tercapai," ujar Benny dalam acara Seminar Perdagangan di Jakarta, Kamis (28/2).

Menurut Benny, pemerintah seharusnya melakukan inovasi untuk mendorong ekspor. Apalagi saat ini, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia 2018 tumbuh 20,15% menjadi US$188,63 miliar sementara nilai eskpor hanya tumbuh 6,65% menjadi US$180,06 miliar. Artinya, sepanjang 2018 defisit perdagangan Indonesia mencapai US$8,57 miliar atau terburuk dalam sejarah. 

Benny mengatakan‎, defisit neraca perdagangan tersebut bisa diturunkan jika meningkatkan ekspor, terutama industri manufaktur. Sebab, penurunan impor sulit dilakukan seiring dengan bertambahnya kebutuhan migas yang diimpor.

Sementara dari sisi eksternal, menurunnya nilai ekspor merupakan dampak dari dinamika perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang berlangsung hingga kini.

Sponsored

"Apalagi perang dagang AS-China yang saat ini tengah dilakukan perundingan itu belum tahu kapan selesainya," kata Benny.

Lebih lanjut, dia menuturkan masalah pengenaan tarif impor yang diberlakukan oleh Indonesia tidak seperti sejumlah negara lainnya. Mayoritas negara-negara pesaing Indonesia di ranah perdagangan internasional banyak yang mendapat privilege atau hak istimewa dari negara-negara tujuan ekspornya.

"Masalah tarif juga, misalnya Pakistan dan India itu diberikan privilege oleh Inggris. Jadi hubungan multilateral dan bilateral itu juga menentukan apakah kita bisa menembus pasar-pasar itu," ujar Benny.

Dengan demikian, Benny menegaskan, salah satu aspek yang mampu meningkatkan angka ekspor Indonesia saat ini, adalah pengembangan industri manufaktur. Sebab, dampak dari pengembangan sektor itu akan memberikan multiplier effect yang menguntungkan bagi Indonesia.

"Industri manufaktur itu adalah pahlawan bangsa. Karena selain menciptakan lapangan kerja, dia juga akan menciptakan devisa," ujarnya. 

Sementara itu, Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan Ari Satria mengatakan hambatan eskpor Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satunya pendekatan pemasaran produk yang tidak terintregasi.

"Kurang terobosan di pasar non tradisional, kurang pengenalan dan pendalaman produk unggulan, serta pembuatan market analysis dan intelligence yang masih minimal. Selain itu, juga lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah terkait ekspor," kata Ari.

Lebih lanjut, Ari menjelaskan, ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan bagi Indonesia untuk meningkatakan ekspornya. Mengutip daya Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional, ekonomi global diperkirakan tumbuh melambat 3,7%. Sementara volume perdagangan dunia tumbuh 4%.

Adapun harga komoditas non migas diperkirakan menguat 0,3%-3,9%. Pertumbuhan didukung oleh peningkatan ekspor beberapa komoditi utama.

"Komoditas utama seperti batu bara dan barang tambang lainnya, besi baja, kendaraan bermotor dan bagiannya, produk kimia, pulp, produk plastik, pakaian jadi dan barang dari kayu," kata dia. 

Dengan hambatan dan tantangan yang dihadapi, Ari menegaskan solusi untuk menggenjot ekspor dengan cara akselerasi ekspor produk manufaktur Indonesia. 

Menurutnya, sinergi antara pemerintah dan swasta untuk membuat roadmap pengembangan industri manufaktur nasional dengan target menentukan produk ekspor dan prioritas pasar ekspor.

"Strategi kami, dalam jangka pendek yaitu mengatasi hambatan tarif bea masuk ekspor CPO Indonesia di India dan China, merealisasikan kontrak dagang, memastikan Indonesia memperoleh fasilitas generalized system of preference (GSP) dari AS mulai tahun ini, meningkatkan promosi dagang ke negara-negara nontradisional," ujar dia.

Sementara untuk jangka panjangnya salah satunya dengan cara menyusun peraturan implementasi FTA Indonesia-Chile, ratifikasi perjanjian FTA Indonesia-EFTA, merealisasikan target peningkatan perdagangan Indonesia-AS, pembukaan perwakilan perdagangan baru di Karachi (Pakistan) dan perpindahan dari Chennai ke Mumbai (India), serta pembukaan pasar-pasar baru (Afrika, Eurasia, Amerika Selatan).

Ekspor non migas

Kementerian Perdagangan (Kemdag) optimistis ekspor non minyak dan gas (migas) pada 2019 bakal tumbuh di kisaran 7,5% dari tahun sebelumnya. Angka itu melihat dari rencana kerja pemerintah (RKP) yang menargetkan kinerja ekspor non migas tumbuh 7%-9%.

Sebagai informasi, pada tahun 2018 nilai ekspor non migas senilai US$162,65 miliar atau tumbuh 6,25% dari 2017 yang senilai US$153,03 miliar.

Sementara itu, pada Januari 2019, kinerja ekspor non migas masih mengalami penurunan bila dibandingkan Januari 2018. Kinerja ekspor non migas turun dari US$13,2 miliar menjadi US$12,63 miliar.

Meski demikian, Ari Satria mengaku tetap optimistis, target yang telah ditetapkan dalam RKP dapat tercapai. "Ini masih Januari. Masih ada 11 bulan ke depan untuk menggenjot target 7%-9%," kata Ari.

Walaupun optimistis, Ari mengaku, saat ini pasar ekspor Indonesia memang belum berkembang. Pasalnya, bercermin pada tahun lalu, pasar ekspor Indonesia terbesar masih China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura.

Padahal, kata dia, ada ratusan negara yang bisa menjadi tujuan ekspor Indonesia. Oleh sebab itu, Kemdag terus melakukan misi dagang dan promosi ke berbagai negara untuk memperkenalkan produk-produk Indonesia. Saat ini, pemerintah tengah menyasar Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, dan berbagai pasar non tradisional.

Selain itu, kata dia, produk ekspor Indonesia pun masih fokus pada produk komoditas. Mengutip data BPS, 10 produk utama yang diekspor mencapai 38,41% dari total ekspor non migas. 

Produk tersebut antara lain batu bara sebesar 12,67%, minyak sawit sebesar 10,15%, bijih tembaga sebesar 2,57%, karet alam sebesar 2,43%, lignite sebesar 2,04%, kendaraan bermotor sebesar 2,01%. Sisanya, industrial monocarbpxylic, alas kaki, bubur kertas dan polywood.

"Padahal, sebagai suatu negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang begitu banyak, seharusnya banyak lagi produk ekspor yang kita tawarkan ke internasional. Tidak hanya yang 10 produk ini," ucap Ari.

Menurutnya, tidak hanya diverisifikasi pasar dan produk. Tetapi juga perlu melakukan diversifikasi pelaku usaha. "Harus semakin banyak pelaku usaha yang terjun dalam aktivitas ekspor ini, sehingga volume, nilai, dan jenis barang yang dieskpor semakin banyak. Namun tetap menghasilkan produk yang berkualitas yang sesuai dengan selera pasar," katanya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid