sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bos Inalum khawatir kondisi minerba di Indonesia

Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin menyatakan beberapa catatan terkait kondisi minerba di Tanah Air.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 08 Jul 2019 16:42 WIB
Bos Inalum khawatir kondisi minerba di Indonesia

Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan sejumlah catatan bagi industri mineral dan batu bara (minerba) tanah air dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR RI.

Pertama, perihal pasokan mineral dan batu bara yang sangat penting sebagai bahan baku pembangkit listrik. Budi menyatakan cadangan mineral dan batu bara yang dimiliki Indonesia harus dijaga dan tidak bisa dijual seluruhnya.

Ia mengatakan jika cadangan batu bara yang dimiliki oleh Indonesia dijual semua, pendapatan memang masuk ke kas negara. Akan tetapi, beberapa tahun ke depan Indonesia tidak akan memiliki cadangan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri.

“Jadi kami di internal lagi menghitung, cadangan kita jangan semua dijual. Kalau dihabiskan sekarang, memang uang dapat sekarang tapi anak cucu kesulitan cari batu bara untuk pembangkit listrik,” ujarnya dalam rapat dengan pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/7).

Ia memaparkan, dalam kajiannya, pembangkit listrik di PT Bukit Asam dapat menghasilkan 25 juta ton batu bara per tahun. Sementara, dalam 5 tahun ke depan juga akan dibangun pembangkit listrik yang diperkirakan membutuhkan bahan baku 11 juta ton batu bara per tahun. Sedangkan untuk membangun pengolahan sintesis gas methanol dibutuhkan setidaknya 13 juta ton per tahun.

“Akibatnya, dalam lima tahun ke depan yang tadinya ekspor 25 juta ton batu bara, kita akan serap 24 juta ton untuk diubah jadi listrik dan diubah jadi syngas dan metanol,” ucapnya.

Jika ini ditarik menjadi isu nasional, katanya, akan menjadi isu yang besar. Ia juga mengatakan, pabrik yang saat ini sedang dibangun pemerintah setidaknya membutuhkan suplai batu bara minimal untuk 30 tahun.

“Idealnya 30 hingga 50 tahun,” ujarnya. 

Sponsored

Budi melanjutkan, hal yang sama juga terjadi untuk bahan dasar nikel. Ekspor bahan mentah nikel Indonesia mencapai 3 juta ton per tahun. Sedangkan untuk membangun pabrik stainless steel setidaknya dibutuhkan 5 juta ton nikel

“Kita bangun pabrik baterai butuh 15 juta bat metric ton per tahun. Jadi kita butuh setidaknya 20 juta ton bahan mentah nikel per tahun,” katanya.

Kedua, Budi menyampaikan, saat ini pihaknya tengah melakukan penghitungan secara hati-hati mengenai pemanfaatan kebutuhan bahan mentah agar tidak impor di masa depan.

“Kami hati hati menghitung. Agar jangan sampai pabrik-pabrik yang kita bangun nanti tidak bisa dapat bahan baku, malah jadi impor,” tuturnya.

Ketiga, Budi juga menyampaikan, teknologi prosesing Indonesia sangat susah berkompetisi dengan negara lain. Pasalnya, katanya negara lain mendapatkan subsidi pemerintah, industri di dalam negeri tidak.

“Pengalaman kami teknologi prosesing ini sangat susah berkompetisi karena pihak lain di subsidi negara, seperti China itu dibantu penuh oleh negara dan perguruan tinggi, lebih baik, jauh lebih maju dan cepat,” ucapnya.

Sementara, untuk hilirisasi minerba, katanya, dibutuhkan energi yang tinggi. Untuk hilirisasi aluminium saja dibutuhkan setidaknya 14.000 kwh per ton, copper smelter 10.000 kwh per ton, dan nikel butuh 4.000-5.000 kwh per ton

“Sehingga kalau energi strategisnya mahal atau tidak murah, kita tidak bisa kompetisi di dunia. Terjadi di berbagai dunia itu tutup pabriknya,” ucapnya.

Sementara itu, Budi mengungkapkan, Indonesia mempunyai sumber bahan mentah yang murah untuk pembangkit listrik. “Kami butuh dari dukungan pemerintah, potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bisa dialokasikan untuk industri hilir minerba jadi global positioning, jadi lebih murah,” tambahnya.

Keempat, butuh integrasi kebijakan fiskal bagi industri minerba. Budi mengaku diberikan target oleh Menteri Keuangan menyetor royalti sebesar-besarnya. "Tapi sebenarnya kalau kami akan invest besar sekali industri hilir, kami pengen batu dijual di dalam negeri khusus untuk industri hilir mendapatkan insentif fiskal, karena pemerintah bisa dapat pajak berupa PPN atau PPh yang jauh lebih besar objeknya di produk hilirnya," kata Budi.

Tapi karena ini melibatkan beberapa kementerian, jelas Budi, pihaknya membutuhkan sinergi dan optimalisasi yang terintegrasi dari pendapatan negara di beberapa kementerian dihitung sekaligus sehingga bisa bisa dicari yang semaksimal mungkin bagi negara.

 

Berita Lainnya
×
tekid