sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BUMN Karya: Utang melambung tak bikin untung

Utang luar negeri BUMN per Agustus 2019, nilainya mencapai US$51,07 miliar setara Rp714,98 triliun.

Sukirno
Sukirno Selasa, 05 Nov 2019 06:06 WIB
BUMN Karya: Utang melambung tak bikin untung

Profitabilitas kedodoran

 

Dari sisi profitabilitas, pendapatan emiten BUMN Karya dalam lima tahun terakhir juga melejit. WSKT menjadi BUMN Karya paling gemilang dari sisi profitabilitas dibandingkan dengan tiga emiten lainnya.

 

Laba WSKT melesat 690,15% dari Rp501,5 miliar pada 2014 menjadi Rp3,96 triliun per akhir 2018. Pun demikian dengan pendapatan WSKT yang melonjak 374,29% menjadi Rp48,78 triliun pada 2018 dari Rp10,28 triliun per akhir 2014. Rerata laba WSKT tumbuh 75,27% dan pendapatan 50,9% setiap tahun.

 

Akan tetapi, meskipun laba dan pendapatan WSKT melejit jauh melampaui BUMN Karya yang lain, ternyata lonjakannya justru dikalahkan oleh pertumbuhan utang yang lebih melambung.

 

Sponsored

Alfred membandingkan, saat laba WSKT rerata CAGR tumbuh 98%, utangnya juga melonjak pada angka yang sama 98%.

 

Saat bersamaan, ketika utang ADHI tumbuh 30% per tahun, laba bersihnya hanya mampu naik 17%. Sedangkan, ketika laba bersih PTPP naik 51% per tahun CAGR, ternyata utangnya juga tumbuh 31%.

 

Terakhir, ketika rata-rata laba WIKA tumbuh 25% setiap tahun CAGR, ternyata nilai utangnya juga naik 42%. Artinya, mayoritas utang BUMN Karya tak mampu mendongkrak kinerja perseroan.

 

Memang, dalam 5 tahun terakhir, BUMN seperti harus menanggung beban target infrastruktur yang digenjot oleh Presiden Jokowi. Bagaimana tidak, APBN yang dikelola pemerintah sangat terbatas.

 

Mayoritas belanja APBN digunakan untuk pengeluaran rutin yang membuat ruang fiskal menjadi menyempit. Maka, mau tidak mau, BUMN harus membantu pemerintah demi merealisasikan pembangunan infrastruktur.

 

Kendati demikian, langkah pemerintah untuk merevaluasi aset BUMN pada 2015 terbilang sebagai jurus jitu. Penghitungan itu membuat nilai aset dan ekuitas perusahaan pelat merah menjadi naik.

 

Akibatnya, leverage alias daya jangkau BUMN terhadap pinjaman kian lebar. Rasio utang BUMN terhadap ekuitas mereka pun turun signifikan. Saat itu terjadi, maka BUMN lebih leluasa untuk mengincar pendanaan, baik dari pasar modal, maupun perbankan.

 

Bagi Alfred, pemerintah yang kini dikomandoi oleh Menteri BUMN Erick Thohir, harus bisa memisahkan antara listed dan non-listed company. Sebab, pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, pemerintah punya partner pemegang saham lainnya, yakni publik.

 

"Jika BUMN non-listed, 100% (saham) milik pemerintah, maka itu hak penuh pemerintah," tutur Alfred.

 

Contohnya saja, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang harus menanggung kerugian lantaran pemerintah tak mengizinkan penaikkan tarif dasar listrik. Kemudian, PT Pertamina (Persero) yang harus rela menerapkan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga di seluruh Indonesia.

 

Posisi itu tentu berbeda dengan emiten BUMN. Bagi pemegang saham publik, setiap aksi korporasi dan program yang dijalankan oleh emiten, harus memberikan dampak keuntungan.

 

Bagi emiten BUMN Karya, kondisi neraca keuangan yang tengah lampu kuning hingga merah, Alfred menyarankan agar tak terlalu agresif mengincar utang. Pasalnya, kondisi leverage saat ini sudah tak lagi sama dengan 3-5 tahun lalu.

 

"Kondisi leverage sudah tinggi, sudah pasti neraca akan drop (kalau agresif menambah utang)," kata dia.

 

Pemerintah sebaiknya tidak turut mencampuri operasional emiten lebih dalam. Misalnya saja, intervensi harga gas, semen, dan instrumen lain yang menyangkut operasional masing-masing emiten.

 

Pemerintah dinilai ingin mendorong agar sejumlah tarif lebih murah agar iklim ekonomi lebih kondusif. Namun, korban yang dirugikan dari kebijakan itu adalah pemegang saham publik.

 

Bagi investor, campur tangan pemerintah terhadap operasional emiten pelat merah harus dituangkan dalam kepastian aturan.

 

Jika dalam 5 tahun periode kedua Presiden Jokowi kembali memberikan penugasan bagi BUMN infrastruktur, maka pemerintah harus menyuntikkan permodalan. Pendanaan yang bersumber dari utang harus dikurangi lantaran bisnis organik tak akan mampu menurunkan beban bunga dalam waktu yang singkat.

 

Pundi-pundi keuntungan perusahaan pelat merah belum cukup untuk mengurangi lonjakan beban utang yang terjadi dalam 5 tahun terakhir. Apalagi, pemerintah menargetkan setoran dividen BUMN terus bertambah sebagai pemasukkan dalam APBN. "Itu konyol. Modal enggak mau nambah," tutur Alfred.

 

Selain Penyertaan Modal Negara (PMN), penjualan aset juga menjadi pilihan agar emiten BUMN Karya dapat mengurangi beban utang. Penjualan aset selain dapat menambah cash flow, juga mampu menurunkan beban utang, dengan catatan aset yang dijual merupakan komponen penyebab pinjaman itu timbul.

 

Untuk itu, pemerintah hendaknya melakukan penambahan modal melalui mekanisme rights issue. Pemerintah juga harus turut menyerap saham baru hasil rights issue agar kepemilikan negara di dalam emiten BUMN Karya tidak terdilusi.

Berita Lainnya
×
tekid