sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dibutuhkan Rp1.620 triliun agar Indonesia selamat dari krisis

Indef meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2020 minus.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 06 Mei 2020 20:30 WIB
Dibutuhkan Rp1.620 triliun agar Indonesia selamat dari krisis

Ekonomi Indonesia babak belur dihantam Covid-19. Hanya dalam waktu dua bulan, pandemi mampu memutarbalikkan angka kemiskinan dan melemahkan pertumbuhan ekonomi.

Perlambatan ekonomi sudah tampak pada kuartal I-2020 saat Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi hanya 2,97% yoy atau di bawah proyeksi Bank Indonesia (BI) yang di kisaran 4,3% hingga 4,6%. Apabila kondisi ini berlanjut, pertumbuhan ekonomi kuartal II terancam minus. 

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memaparkan prediksi pertumbuhan ekonomi berdasarkan tiga skenario penanganan Covid-19. Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef M. Rizal Taufikurahman mengatakan skenario pertama mengandaikan Covid-19 selesai satu bulan. Artinya, skenario tersebut sudah tak relevan lagi karena penanganan Covid-19 di Indonesia tak selesai dalam satu bulan.

"Artinya tinggal dua skenario. Skenario mana yang terjadi atau mana yang cocok? Saya kira akan tergantung dari cepat lambatnya pelandaian kurva Covid-19," ujar Rizal dalam konferensi pers Indef, Rabu (6/5).

Apabila penanganan Covid-19 memerlukan waktu selama tiga bulan, Rizal mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 bisa minus 0,15%. Skenario ini mengandaikan penanganan Covid-19 selesai pada akhir Mei dan pemulihan pada Juni 2020.

Sementara apabila hingga bulan Juni kurva Covid-19 belum melandai, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 diproyeksikan minus 0,69%.

"Artinya ini sangat tergantung kepada efektivitas kebijakan antisipasi penyebaran Covid-19. Ditambah seberapa besar efektivitas stimulus atau insentif fiskal itu sendiri," ujar dia.

Lebih lanjut, Rizal memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 bisa mencapai 0,70% jika mengikuti skenario pertama dan minus 0,26% jika mengacu ke skenario kedua. Namun, pertumbuhan negatif tersebut akan berbalik positif pada tahun 2021 dengan pertumbuhan sebesar 5,77%.

Sponsored

Proyeksi 2021 tersebut mengasumsikan stimulus fiskal berjalan dengan baik, disertai dengan kebijakan moneter yang saling memperkuat dan berkontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang semakin prudent. Apabila tak terjadi demikian, proyeksi tersebut bisa jadi berubah.

Butuh biaya dua kali lipat

Percepatan penanganan Covid-19 membutuhkan dana jumbo. Menurut Rizal, dana penanganan Covid-19 yang dianggarkan pemerintah saat ini masih belum efektif. 

Pemerintah menganggarkan Rp405,1 triliun yang masuk dalam stimulus jilid III untuk mengurangi dampak Covid-19. Rinciannya, sekitar Rp110 triliun dialokasikan untuk social safety net melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan anggaran pendidikan. Tujuannya untuk mendorong daya beli masyarakat kelas menengah dan ke bawah. 

Lalu, sekitar Rp75 triliun untuk insentif tenaga kesehatan dan penanganan kesehatan. Sekitar Rp70,1 triliun guna dukungan industri berupa pemotongan pajak, stimulus kredit usaha rakyat (KUR), bea masuk, serta Rp150 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional. 

Berdasarkan hitungan Indef, dana penanganan Covid-19 ini harus ditambah minimal dua kali lipat dari anggaran saat ini. Dana yang besar itu dibutuhkan untuk menekan angka kemiskinan. Saat ini masih banyak masyarakat yang rentan jatuh miskin akibat Covid-19 dan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bertambah.

"Dari sisi finansial, besaran stimulus Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan negara lain," tutur Rizal.

Tambahan dana diperlukan demi mendorong konsumsi masyarakat. Apalagi, dengan angka konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 2,84%, menandakan rumah tangga di bawah pendapatan menengah sudah tak bisa melakukan konsumsi.

Untuk sumber dana, Rizal mengatakan pemerintah bisa menggunakan realokasi APBN yang ada. Tetapi, jika hal itu membebani dan tak efektif, pemerintah bisa mencari skema-skema yang lain dengan catatan tak akan membebani APBN dalam jangka panjang.

"Jangan berpikir utang ke luar negeri. Kalau utang, ya utang ke domestik melalui penjualan surat berharga negara (SBN) yang relatif mudah dikendalikan," kata Rizal.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual dalam risetnya mencatat rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil ketimbang negara lain. Saat ini rasio utang Indonesia hanya di level 30% atau lebih kecil dibandingkan Filipina yang sebesar 42%. Demikian juga apabila dibandingkan dengan China, Malaysia, dan Singapura yang masing-masing berada di kisaran 50%, 52%, dan 112%.  

Berita Lainnya
×
tekid