sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Corona berlalu, ekonomi akan bangkit seiring waktu

Semua sektor industri akan kembali tumbuh seperti sediakala dan kehidupan akan berjalan normal seperti biasanya.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Selasa, 07 Apr 2020 06:20 WIB
Corona berlalu, ekonomi akan bangkit seiring waktu

Jutaan orang terinfeksi. Puluhan ribu jiwa meninggal. Lalu lintas penerbangan dihentikan. Pertandingan-pertandingan olahraga ditunda. Konser-konser musik diatur ulang jadwalnya. Perusahaan-perusahaan menghentikan operasi sementara dan jutaan orang terancam kehilangan pekerjaan. Semua itu terjadi hanya karena satu biang keladi: coronavirus atau dikenal Covid-19.

Virus bernama SARS-Cov2 itu benar-benar merusak hampir semua sendi kehidupan manusia. Ia menjelma sebagai tragedi kemanusiaan sekaligus ekonomi di era modern. Martin Suryajaya, seorang akademisi sekaligus novelis, menyebut keadaan ini sebagai ‘universal state of exception’.

“Virus korona dan kecepatan mutasinya dalam menghasilkan ratusan strain dalam hitungan tiga bulan (yang mempersulit vaksinasi) telah menghasilkan sebuah disrupsi pada era disrupsi ini,” tulis Martin dalam blog pribadinya Martinsuryajaya.com.

Apa yang disebut sebagai ‘disrupsi pada era disrupsi’ ini digambarkan dengan guncangan perekonomian dunia sampai hampir ke titik nadir. Bursa saham dunia amblas rerata 25% dalam sebulan terakhir. Bahkan, indeks saham Dow Jones pada Kamis, 12 Maret lalu, menunjukkan tren terburuk sepanjang sejarah.

Dilansir dari CNBC, Dow Jones ditutup melemah 2.997,10 basis poin (bps) atau 12,9% ke level 20.188,52. Sebanyak 30 saham dalam indeks tersebut merosot lebih dari 3.000 poin. Ini penurunan terparah sejak Black Monday 1987.

Di hari yang sama, harga minyak mentah kontrak berjangka Brent ikut surut 5,49%  ke angka US$33,86 per barel. Sementara di Indonesia, sampai Senin (6/4) kemarin, perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah enam kali dihentikan selama setengah jam (trading halt).

Penghentian perdagangan dilakukan pada 12, 13, 17, 19, 23, dan 30 Maret 2020. Pada trading halt yang terakhir, 30 Maret, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 5% ke level 4.318,29. Mekanisme trading halt sendiri baru berlaku mulai 11 Maret 2020. Tujuannya, tak lain menjaga lantai bursa dari kejatuhan yang mendalam.

Melalui surat bernomor S-274/PM.21/2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memerintahkan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan kegiatan perdagangan saham bila IHSG berada dalam tekanan. Rinciannya, bila IHSG turun 5% dalam sehari, BEI diperintahkan menghentikan perdagangan selama 30 menit. Aturan ini berlaku sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Sponsored

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah pada penutupan sesi awal di level 4.099,09, pada Kamis (17/3). Angka ini turun 5,33% atau 231,584 poin dibanding penutupan Rabu (18/3) di level 4.330,67. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A/wsj.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan hampir seluruh negara berjuang melawan Covid-19. Tragedi yang bermula dari masalah kesehatan itu merembet pada masalah sosial yang kemudian mempengaruhi sektor ekonomi. Tak terkecuali sektor keuangan.

"Sekarang seluruh dunia sedang menghadapi krisis di bidang kemanusiaan. Yang sedang diupayakan jangan sampai krisis kesehatan mempengaruhi sangat dalam pada krisis ekonomi, sosial dan keuangan," ujar Sri melalui video conference, Rabu (1/4).

Pemerintah bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Laju perekonomian diproyeksikan turun menjadi 2,3%. Bahkan, skenario terburuk, ekonomi tak tumbuh alias minus 0,4%. Tentu pemerintah mengharapkan skenario itu tak akan terjadi.

Nilai tukar rupiah diprediksi mencapai Rp 20.000 per dolar AS dalam skenario paling berat. Adapun skenario berat kurs bisa mencapai Rp 17.500 per dolar AS pada tahun ini. Dalam pertemuan daring bersama media massa tersebut, Menkeu Sri Mulyani meminta skenario terburuk itu tak perlu dibesar-besarkan karena belum tentu terjadi.

Episentrum krisis

Rekaan skenario terburuk itu kemudian memunculkan asumsi bahwa krisis tahun ini akan mirip dengan yang terjadi pada 2008 dan 1998. Saat itu, perekonomian Indonesia luluh lantak akibat gejolak dalam negeri dan krisis ekonomi global. Krisis 1998 juga dikenal sebagai krisis multidimensi.

Saat itu, Indonesia mengalami krisis moneter yang menghancurkan hampir semua fundamental ekonomi negara. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500 menjadi Rp15.000.

Di sisi lain, gelombang protes terhadap Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI) Soeharto kala itu memperparah gejolak perekonomian nasional. Kala itu HSG terjun bebas 64% dari level tertingginya, dari 736 ke titik terendah 275. Perbankan kering likuiditas. Parahnya, tingkat non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah mencapai 30%.

Hans Kwee, Direktur Anugerah Mega Investama mengatakan, butuh waktu lima tahun bagi Indonesia untuk bisa kembali pulih waktu itu. “Tahun 1998 lebih parah bagi kita karena episentrum krisisnya ada di kita (Indonesia). Daya rusaknya sangat tinggi dan kita butuh lima tahun untuk recovery,” kata Hans saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.

Satu dekade kemudian (2008), krisis moneter kembali memukul perekonomian nasional. Kali ini, sumbernya berasal dari negeri Paman Sam. Skandal kegagalan program hipotek (subprime mortgage) yang dikenal sebagai desain produk perbankan untuk kredit perumahan AS jadi biang keladi krisis yang melanda dunia kala itu.

Kegagalan di sektor keuangan turut memengaruhi sektor serupa di Tanah Air. Tercatat, rupiah saat itu terdepresiasi 30,9%, dari Rp9.840 per Januari 2008 jadi Rp12.100 per November di tahun yang sama. Sementara IHSG terpelanting jauh hingga 51,23% secara tahunan (year on year/yoy).

Saat itu, kata Hans, fundamental ekonomi Indonesia sudah cukup kuat, sehingga hanya butuh waktu satu tahun untuk kembali memulihkan perekonomian. “Waktu itu memang terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang cukup besar dari Indonesia. Dan berdampak juga ke sektor riil. Tapi fundamental kita masih kuat. Jadi cuma setahun kita sudah bisa rebound,” terangnya.

Untuk kali ini, sambung Hans, dunia menghadapi ancaman krisis namun dengan masalah yang sama sekali berbeda. Episentrum krisis dimulai dari negara dengan cadangan devisa terkuat dunia, China. Negeri Tirai Bambu pula yang menjadi tempat awal coronavirus ditemukan. 

Keputusan karantina wilayah membuat beberapa negara yang mengandalkan China sebagai pemasok barang mentah dan bahan baku terkena imbas. Ketika pandemi Covid-19 menyebar hampir ke semua penjuru dunia, perekonomian global mulai tersendat. Pariwisata menjadi sektor yang paling pertama terpukul. Sektor riil mulai melambat lantaran kebijakan work from home (WFH) dan gerakan stay at home. Bursa saham juga turut bergerak negatif.

Akan tetapi, terang Hans, yang menjadi musuh terbesar bukanlah ekonomi, melainkan pandemi Covid-19. Karenanya, Hans meyakini, setelah masalah kesehatan ini mampu dilalui, maka ekonomi pasti kembali unjuk gigi. “Ini krisis kesehatan yang menyebar ke ekonomi. Jadi sesudah (masalah) kesehatan itu berlalu, ekonomi saya pikir bisa jalan,” terangnya.

Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada 1998 dan 2008. Alinea.id/OkyDiaz.

Optimisme dunia usaha

Keyakinan Hans itu rupanya beriringan dengan optimisme dunia usaha. Sejumlah emiten di lantai bursa yang nilai sahamnya sempat merosot selama periode Februari-Maret meyakini tahun ini perekonomian nasional dan perusahaan akan kembali stabil seperti sediakala.

PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. (Antam) misalnya, belum akan mengoreksi target pertumbuhan pendapatan tahun ini kendati nilai sahamnya anjlok selama sebulan terakhir. Tercatat, pada Senin (23/3) saham emiten bersandi ANTM itu berada di titik terendah Rp348 per unit. Nilai ini jauh dari posisi 10 Maret yang berada di angka Rp575 per lembar saham. Namun, pada Senin (6/4) saham ANTM kembali rebound di angka Rp540.

Senior Vice President Corporate Secretary Antam Kunto Hendrapawoko mengatakan, pihaknya masih optimistis fase sulit ini bakal mampu dilalui. Syaratnya, perusahaan tetap konsisten melakukan optimalisasi dan efisiensi biaya produksi untuk mempertahankan daya saing usaha. 

Menurutnya, perseroan juga tengah merancang sejumlah strategi yang sedang dan bakal dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Salah satu yang diterapkan Antam adalah dengan melakukan buyback (pembelian kembali) saham.

Pada Selasa (17/3) perseroan telah mengucurkan dana sebesar Rp100 miliar untuk mewujudkan rencana pembelian kembali saham itu. PT Mandiri Sekuritas ditunjuk sebagai broker untuk aksi buyback saham. “Periode pembelian kembali saham dilaksanakan pada periode 17 Maret 2020 hingga 16 Juni 2020,” terang Kunto kepada Alinea.id melalui pesan singkat.

Keyakinan serupa juga disampaikan Sertetaris Perusahaan PT Timah (Persero) Tbk. Abdullah Umar. Menurut Abdullah, meski nilai saham perusahaan sempat mencapai titik terendah di level Rp352 per unit pada Kamis (19/3), namun sampai saat ini emiten berkode TNIS itu belum memiliki ancar-ancar untuk mengoreksi target pertumbuhan pendapatan.

Abdullah menjelaskan, perusahaan justru menganggap Covid-19 sebagai pelajaran berharga bagi perseroan untuk menjalankan bisnisnya secara lebih efektif dan efisien. Ia yakin dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi di rantai bisnis, PT Timah bakal lolos dari cengkeraman kebangkrutan.

“Kita optimistis bisa bersama-sama menghadapi dan melawan wabah covid-19, baik di internal perusahaan maupun bersama masyarakat di daerah operasi,” terang Abdullah pekan lalu.

Hal yang tidak jauh berbeda pun disampaikan Executitve Vice President Secretariat & Corporate Communication PT Bank Centra Asia Tbk. (BCA) Hera Haryn. Kendati lembaga pemeringkat saham, Fitch Ratings, sempat menurunkan tingkat potensi kegagalan (default) BCA dari BBB menjadi BBB-, Hera meyakini saat ini perusahaan telah melakukan langkah-langkah yang benar untuk menangani masa paceklik akibat Covid-19.

Optimisme tetap diusung meski saham emiten bersandi BBCA itu sempat terperosok 7% ke level Rp23.250 per unit pada Kamis (19/3). BCA, kata Hera, tetap menjamin operasional berjalan normal seperti biasa kepada nasabah dan stakeholder. BCA juga sedapat mungkin tetap mempertahankan kinerja fundamental dengan memperkuat layanan perbankan digital.

“Di samping itu, BCA juga terus menerus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan regulator dan stakeholder untuk bersama menciptakan suasana yang kondusif dan menjaga stabilitas ekonomi nasional,” kata dia kepada Alinea.id.

Tergantung pemegang kendali

Optimisme yang ditunjukkan tiga emiten tersebut bukanlah isapan jempol. Lembaga pemerhati ekonomi Moody’s Investor Service dalam rilis yang diterima Alinea.id bulan lalu menyebut, Covid-19 telah menjadi ajang pembuktian bagi perusahaan dalam melewati masa paceklik.

Moody’s mengambil contoh Apple Inc yang punya likuiditas sebesar US$187 miliar dan cadangan permodalan sebesar US$43 miliar. Vice President Credit Officer Moody’s Rai Joshi meyakini, Apple akan tetap mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 5% pada September 2020.

Fundamental keuangan perusahaan dan tingginya kepercayaan konsumen kepada produk Apple akan melambungkan perusahaan secara cepat pasca-corona. Tren pemulihan cepat seperti ini bukan mustahil terjadi pada semua sektor bisnis lainnya.

Sementara itu, Harvard Business Review (HBR) dalam sebuah jurnal yang diterbitkan bulan lalu menyebut, krisis saat ini hanyalah fenomena bisnis yang terjadi secara natural akibat bencana kesehatan. Krisis ini bukan fenomena struktural seperti yang terjadi di Amerika pada 2008 silam.

Karenanya, HBR meyakini hanya ada satu kemungkinan skenario pemulihan bisnis yang paling masuk akal jika Corona berakhir, yaitu pola V-Shaped. Ini ditunjukkan dengan nilai suatu saham atau bisnis yang anjlok dalam waktu cepat namun akan kembali bangkit dengan cepat pula. Kendati begitu, HBR mengingatkan, pola ini hanya bisa terjadi jika penanganan Covid-19 dilakukan secara benar sehingga pandemi yang telah menewaskan puluhan ribu jiwa itu tidak sampai berlarut-larut.

Pemikiran senada disampaikan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah. Ia meyakini, proses pemulihan ekonomi hanyalah tinggal menunggu waktu. Caranya hanya tergantung pada bagaimana setiap orang memerangi pandemi Covid-19.

Menurut Piter, fundamental ekonomi saat ini masih cukup kuat dan perusahaan-perusahaan masih sehat untuk menjalankan operasinya. Hanya saja, saat ini banyak perusahaan terpaksa menghentikan operasi karena imbauan social distancing melalui perintah bekerja, beribadah dan berkegiatan di rumah.

Recovery akan cepat. Kecuali kalau kelamaan, yang tadinya sehat jadi sakit. Nah, itu yang kita khawatirkan. Yang tidak kita inginkan terjadi adalah kalau wabah ini terlalu lama sehingga merusak daya tahan perusahaan,” jelas Piter kepada Alinea.id.

Seperti langit biru yang belakangan hari terlihat di atap Jakarta, Piter optimistis harapan untuk kembali bangkit masih terbuka lebar. Semua industri akan kembali tumbuh seperti sediakala, dan kehidupan akan berjalan normal seperti biasa. Saat Covid-19 berlalu, masalah perekonomian pun akan pulih seiring berjalannya waktu. Industri makanan dan minuman akan bangkit lebih dulu dan perbankan menyusul setelahnya.

“Begitu wabah berlalu, maka persoalan ekonomi juga kita akan berlalu. Ekonomi kita akan bangkit dengan sangat cepat. Pabrik-pabrik akan mulai beroperasi kembali, ekspor kita bisa naik lagi. Pariwisata kita bisa buka lagi, yang buka warung bisa buka warung lagi. Kehidupan kita akan balik normal,” ujarnya yakin.
 

Berita Lainnya
×
tekid