sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dampak diskriminasi sawit, Menko Luhut ancam boikot pesawat Eropa

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Indonesia serius mengancam Uni Eropa terkait diskriminasi sawit.

Soraya Novika
Soraya Novika Kamis, 21 Mar 2019 00:11 WIB
Dampak diskriminasi sawit, Menko Luhut ancam boikot pesawat Eropa

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Indonesia siap memboikot produk-produk Uni Eropa, jika kebijakan penghapusan minyak kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel diterapkan. Luhut menyatakan salah satu produk yang mungkin dilarang masuk ke Indonesia yakni pesawat terbang.

"Kita bisa ban (melarang) seluruh produk mereka, pesawat bisa, bahkan yang lainnya," ujar Luhut usai menggelar rapat di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (20/3).

Luhut menyebutkan ketergantungan Eropa terhadap ekspor pesawat ke Indonesia cukup tinggi. Sebab, kata dia, Indonesia masih membutuhkan sekitar 2.500 pesawat milik Eropa dalam berbagai bentuk model sampai kurun waktu 20 tahun ke depan. Apabila langkah boikot pesawat Eropa serius dilakukan, Eropa akan mengalami kerugian besar.

"Dan saya kira itu angka yang cukup besar nilainya mencapai US$40 miliar, dan itu dapat menciptakan sekitar 250 juta lapangan pekerjaan untuk Eropa atau Amerika," katanya.

Luhut jug mengungkapkan Asosiasi Transportasi Udara Internasional memproyeksikan bahwa sektor penerbangan Indonesia akan naik tiga kali lipat pada 2034 mencapai 270 juta penumpang per tahun. 

"Saya perjelas kepada teman-teman negara Eropa, kami bukan negara miskin, kami negara berkembang, kami punya potensi investasi yang bagus di sini," ucapnya.

REDD II bersifat fleksibel

Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Vincent Guerend angkat suara. Dia sepakat bahwa rencana boikot Indonesia terhadap produk Eropa tersebut bakal sama-sama merugikan kedua belah pihak. 

Sponsored

Namun demikian, dia menyebut bahwa kebijakan larangan penggunaan produk sawit pada dasarnya dirancang untuk meningkatkan keberlanjutan lingkungan sebagaimana cita-cita 'The Sustainable Development Goals' (SDGs) 2030.

"Kalau Indonesia boikot produk Uni Eropa, maka akan sama-sama rugi sedangkan yang kita mau adalah sama-sama menang dalam keberlanjutan," ujar Guerend.

Vincent juga menanggapi lebih lanjut langkah pemerintah atas rencana implementasi regulasi atau delegated act untuk kesepakatan Renewable Energy Directive (RED) II tersebut. Ia menyebut kebijakan tersebut sebenarnya bersifat fleksibel. 

Selama ini, Guerend mengungkapkan, Eropa telah menerapkan perdagangan yang bebas dan terbuka hingga sekitar 65% kepada produk sawit Indonesia yang masuk ke Eropa dengan bea masuk nol persen. 

Sisanya, bea masuk yang dikenakan hanya berkisar 5% hingga 10%, lebih rendah dari bea masuk ke India yang mencapai 40%. Kerangka kebijakan RED II, lanjut Guerend, hanya mencakup produk sawit yang digunakan untuk BBN dan tidak mencakup produk turunan lain. 

Dengan upaya ini, Eropa ingin mendorong praktik sawit berkelanjutan di Indonesia yang selama ini lekat dengan praktik deforestasi.

"Pemerintah Indonesia ingin minyak kelapa sawit berkelanjutan dan kami menyambut itu melalui moratorium, peremajaan, dan revisi sertifikasi internasional minyak sawit berkelanjutan (ISPO)," katanya.

Selanjutnya ia menjamin bahwa pihak Uni Eropa akan senantiasa membantu Indonesia dalam membangun keberlanjutan industri kelapa sawit. Nantinya, bila dinilai sawit Indonesia telah mencapai standar keberlanjutan, aturan RED II dapat direvisi pada tahun 2021 atau 2023.

Terkait ancaman pemerintah Indonesia yang ingin melaporkan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Guerend pun tak keberatan akan opsi itu. Langkah tersebut dinilai lebih tepat untuk menyelesaikan sengketa. 

"Kita percaya sengketa bisa diselesaikan dengan cara yang tepat di WTO," tuturnya.

Rancangan kebijakan RED II telah diajukan Komisi Uni Eropa ke Parlemen sejak 13 Maret 2019 lalu. Kini, tinggal memunggu putusan Parlemen Eropa yang kira-kira akan diumumkan sekitar dua bulan ke depan apakah menyetujui rancangan kebijakan tersebut atau malah menolaknya.
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid