sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dampak sanksi Amerika kepada Iran terhadap ekonomi Indonesia

Setelah Amerika Serikat menghentikan perang dagang dengan China, kini Presiden Donald Trump kembali kibarkan genderang perang kepada Iran.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Kamis, 08 Nov 2018 01:07 WIB
Dampak sanksi Amerika kepada Iran terhadap ekonomi Indonesia

Setelah Amerika Serikat menghentikan perang dagang dengan China, kini Presiden Donald Trump kembali kibarkan genderang perang kepada Iran.

Dua hari lalu, AS menjatuhkan sanksi kepada Iran. Diprediksi, sanksi itu bisa berdampak terkereknya harga minyak mentah dunia.

Amerika memberlakukan sanksi terbesar yang pernah dilakukan kepada Republik Islam Iran. Presiden Iran Hassan Rouhani menyebutnya sebagai tindakan 'perang ekonomi' dan mengatakan negaranya akan menang. 

Paket hukuman ekonomi berat yang dikenakan terhadap Iran pada Senin (5/11) oleh Amerika Serikat adalah bagian paling penting dari keputusan Presiden Trump bulan Mei 2018 untuk meninggalkan perjanjian nuklir Iran 2015, yang ia gambarkan sebagai bencana. 

Hukuman yang dijatuhkan termasuk beberapa pengecualian luas yang dapat merusak dampaknya, di antaranya pelanggan minyak terbesar Iran. 

Pengamat Perdagangan Internasional Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menjelaskan, Indonesia memiliki jaringan produksi minyak yang tidak terhubung langsung dengan Iran. Namun, yang perlu diwaspadai oleh Indonesia adalah dampak lanjutannya terhadap harga minyak mentah dunia. 

"Yang mana itu pastinya akan membuat forecast harga minyak dunia tinggi ke depan," jelas Fithra kepada Alinea.id, Selasa (6/11). 

Menurut dia, Indonesia bakal menanggung beban yang tidak ringan. Sebab, subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai Rp168 triliun dibarengi lemahnya kurs rupiah terhadap dollar AS, tentu menambah beban pembiayaaan.

Sponsored

"Kalau memang kita mempertahankan subsidi tadi, dan pada akhirnya akan menaikkan ongkos produksi jangka panjang," imbuh Fithra. 

Oleh karena itu, dia menambahkan, pemerintah sebaiknya bisa memotong subsidi untuk BBM. Sebab, jika tidak dipangkas, maka bisa membebani anggaran. 

"Kalau kita bisa mengalokasikan anggaran lebih efisien ke sektor lain, maka dengan memotong subsidi BBM. Karena sebenarnya, itu tidak signifikan terhadap biaya masyarakat," jelas Fithra. 

Sanksi AS atas Iran, ucapnya, dapat memicu sentimen negatif di pasar modal dan pasar keuangan. Akan tetapi, dampak itu masih relatif sedikit terhadap market Tanah Air. 

"Secara fundamental ini tidak akan terlalu menganggu Indonesia sebenarnya pada jangka pendek. Kalau pun memang terjadi, cukup lama progresnya dan besar," tuturnya. 

Dia memerkirakan, dampak sanksi tersebut ke pasar keuangan dalam jangka panjang akan memicu arus modal keluar (capital outflow) di Indonesia. Sebab, para investor cenderung akan mencari instrumen-instrumen yang terkategorikan aman. 

"Dengan begitu, mereka akan flight bond atau pergi ke tempat-tempat seperti Amerika Serikat dan Jepang," imbuh Fithra.

Langkah antisipasi

Melihat gaya kepimpinan Donald Trump yang sering kali membuat kebijakan di luar dugaan, Indonesia setidaknya perlu mengantisipasi agar tidak ikut masuk dalam arus perang dagang. 

Menurut Fithra, Indonesia sebaiknya membuat semua kebijakannya dengan ahead the curve. Artinya, bukan reaktif, tetapi justru harus antisipatif. 

"Dalam konteks ini, ke depan, subsidi fiskal musti dipotong subsidi BBM. Supaya mengurangi beban anggaran. Dari sisi instrumen moneter, kalau jadi penurunan atau tekanan pada nilai tukar, ya harus selalu siap untuk menaikkan suku bunga," jelas Fithra. 

Kendati demikian, kata Fithra, meskipun tantangannya dengan suku bunga yang naik, pertumbuhan ekonomi juga kemungkinan akan terhambat. 

Selain itu, pemerintah juga sebaiknya melakukan diversifikasi mitra perdagangan. Karena selama ini, Fithra menilai Indonesia selalu bermitra dengan patner dagang tradisional. 

"Indonesia juga harus diversifikasi portofolio partner. Bukan yang tradisional, tapi non tradisional," ujarnya. 

Selain itu, sambungnya, Indonesia perlu memperkuat kerja sama kewilayahan dengan negara lain. Misalnya, melalui regional comprehensive economic partnership (RCEP). 

Hal itu dinilai dapat menjadi penyangga (buffer) terhadap potensi-potensi perang dagang ke depan. Sebagai strategi jangka panjang, dengan memperkuat industri, karena Indonesia selama ini cukup tertinggal. 

"Bahkan mengalami deindustrilisasi. Ini yang harus direvitalisasi," jelas Fithra. 

Terpisah, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini berpesan, agar Indonesia bisa menekan current account defisit (CAD) yang terbilang masih tinggi. 

"CAD masih tinggi, terutama (disumbang) minyak. Minyak kalau salah-salah, kalau populis saja, tambah jebol lagi. Dan yang lebih besar salah satunya minyak," ujarnya.

Dia menuturkan, apabila persoalan minyak dijadikan kebijakan yang populis yang tidak terarah, pemerintah bisa mengarungi gejolak yang besar. 

Sementara kebijakan Indonesia juga tidak ada yang signifikan ampuh untuk menopang perekonomian Indonesia. 

"Kalau (kebijakan) kita kuat, ada tantangannya merusak dan peluangnya. Kalau gini-gini saja berdampak negatif," jelasnya.  

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid