sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Daya beli menurun diduga biang defisit neraca dagang

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut pelemahan daya beli masyarakat dan industri terus terjadi.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 16 Okt 2019 12:05 WIB
Daya beli menurun diduga biang defisit neraca dagang

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan defisit neraca perdagangan Indonesia pada September 2019 yang mencapai US$160 juta terjadi karena adanya pelemahan daya beli masyarakat dan industri. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyebut selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada konsumsi rumah tangga. 

“Kalau konsumsi turun impact-nya akan terjadi penurunan daya beli,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/10).

Menurut Hariyadi, laju impor memang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Namun, jika dibandingkan bulan sebelumnya, kinerja impor dan ekspor justru sama-sama mengalami penurunan terutama pada sektor bahan baku dan barang modal yang menjadi kebutuhan industri.

“Poinnya adalah kalau impor turun secara keseluruhan apalagi impor bahan bakunya, berarti memang ada pelambatan pertumbuhan ekonomi dan yang kami khawatirkan adalah turunan pada daya beli,” ujarnya.

Selain itu, Hariyadi menuturkan, defisit juga terjadi karena kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia belum optimal dan pemerintah belum mampu menciptakan pemerataan ekonomi. Sehingga impor yang ada hanya tinggi di sektor-sektor yang bukan menjadi kebutuhan masyarakat umum.

“Pandangan kami, pertumbuhan ekonomi kita kualitasnya tidak optimal. Dalam arti yang menikmati pertumbuhan ini hanya kelas menengah atas, sedangkan menengah bawah sebetulnya mereka dalam kondisi yang tertekan,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan defisit neraca perdagangan tersebut tak terhindarkan melihat perlambatan ekonomi global saat ini.

Sponsored

Shinta pun melihat defisit neraca perdagangan terjadi karena impor yang dilakukan Indonesia sebesar 70% masih berupa bahan baku dan bahan penolong.

Untuk itu, kata Shinta,  industrialisasi di hulu menjadi salah satu kunci menekan defisit neraca perdagangan agar tidak banyak bergantung dengan impor.

"Industrialisasi sudah kami bicarakan lama, tapi kenyataan sekarang ini masih banyak belum jalan. Pengembangan industri hulu, ini sekarang difokuskan," kata dia.

Untuk menggenjot ekspor, ia mendorong diversifikasi pasar agar tidak banyak tergantung dengan pasar atau negara utama tujuan ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat China dan Amerika Serikat (AS) merupakan dua negara pasar utama tujuan ekspor Indonesia.

"Sebenarnya minat banyak, sekarang bagaimana membuat itu (industrialisasi) terjadi. Kembali ke aturan main, jika pasar ada, negara tujuan pasar ada, kita mesti permudah bagi pelaku usaha untuk impor dan ekspor, karena kalau mau ekspor lebih besar perlu tetap impor," kata Shinta.

Dengan adanya industrialisasi di hulu, Shinta mengatakan, kebutuhan impor bahan baku dan bahan penolong bisa ditekan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia September 2019 mengalami defisit US$160,5 juta disebabkan oleh defisit sektor migas.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, pada september 2019 terjadi defisit untuk sektor migas terbesar US$761,8 juta meskipun di sektor non-migas surplus sebesar US$601,3 juta.

"Ekspor migas turun disebabkan oleh menurunnya impor minyak mentah 33,65% menjadi US$94,7 juta dan ekspor gas 11,04% menjadi US$505,8 juta," katanya.

Tekornya neraca dagang pada bulan September ini turut didorong oleh turunnya jumlah ekspor Indonesia secara keseluruhan dibandingkan impor.

Ekspor September 2019 tercatat mencapai US$ 14,1 miliar atau turun secara tahunan sebesar 5,74% dibandingkan September 2018 yang mencapai US$ 14,96 miliar.

Sedangkan impor tercatat menyentuh US$ 14,26 miliar atau naik sebesar 0,63% dibandingkan bulan Agustus. Namun jika dibandingkan secara tahunan terjadi penurunan 2,41% jika dibandingkan dengan September 2018. Suhariyanto pun menyebutkan jika dibandingkan dengan impor Agustus 2019 mengalami kenaikan sebesar 0,63%. 

"Impor migas kita mengalami penurunan sebesar 2,36% dan impor non migas kita naik 1,02%," ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid