sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

DP KPR 0% dan hak untuk memiliki rumah tinggal

Uang muka (down payment/DP) KPR hingga 0% baru saja digulirkan oleh Bank Indonesia. Mampukah konsumen membeli rumah?

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Sabtu, 07 Jul 2018 00:44 WIB
DP KPR 0% dan hak untuk memiliki rumah tinggal

Memiliki tempat tinggal merupakan hak bagi setiap masyarakat Indonesia, sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Meski demikian, persoalannya tidak sederhana bagi masing-masing orang untuk mendapatkan atap yang layak sebagai tempat bernaung.

Buat Dina Hutauruk (29), perantau asal Sumatra Utara yang bekerja di Jakarta, perkara hidup bukan hanya mengisi perut. Setelah lima tahun mencari nafkah di sebuah media besar tanah air, dia belum juga memiliki rumah.

Keputusan besar dibuat Dina medio 2018. Dia menemukan rumah yang dijual dari tangan pertama di kawasan Cisauk, Tangerang dengan harga Rp395 juta. Bukan cara mudah buat mendapatkan dana tunai sebesar itu. Syahdan, dia memutuskan meminjam dana ke bank lewat skema kredit pemilikan rumah (KPR).

Saat itu, Dina bisa mengajukan pinjaman dengan uang muka atau down payment (DP) cukup rendah. Sesuai dengan budget kantongnya. Namun, setelah dihitung, cicilian yang harus dibayar per bulan sangat besar. Akhirnya, dia mengontak ibundanya di kampung. Meminta pinjaman uang untuk dibayarkan DP. Agar cicilan bulanan yang dibayarnya nanti bisa lebih rendah.

“DP ini akhirnya aku pinjam dari orang tua, nanti tetap aku cicil per bulan juga. Aku pikir lebih baik bayar uang muka besar supaya cicilan kecil. Daripada harus pinjam banyak ke bank yang pada akhirnya aku akan menanggung beban bunga besar,” kata Dina kepada Alinea.id, belum lama ini.

Selanjutnya, Dina memilih tenor cicilan 10 tahun. Menurut dia, tenor ini paling singkat di antara yang lainnya. Sehingga, ia tidak perlu lama mencicil rumah sepanjang hidupnya.

Besaran uang muka ternyata bukan menjadi persoalan utama dalam membeli rumah. Tidak sedikit orang yang mengeluhkan faktor lain seperti besar bunga bank yang sangat besar.

Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan pasar properti masih lemah hingga tengah tahun ini terlihat dari penjualan yang lesu. 

Sponsored

Ferry yang juga tim ahli Bidang Penelitian DPP Real Estate Indonesia (REI) mengungkapkan, dari data REI DKI Jakarta, diketahui bahwa masalah di sektor properti paling besar adalah besaran suku bunga. Selanjutnya, besaran pajak dan sulitnya perizinan untuk mendirikan hunian. 

“Kalau masalah down payment pengaruhnya tidak besar hanya 2% saja. Selain itu, cara pembayaran yang dilakukan juga mayoritas masih berupa tunai bertahap (cash installment),” kata dia.

Kondisi ini sebetulnya sudah dicermati Bank Indonesia. Puncaknya, pada akhir Juni 2018, BI akhirnya mengeluarkan peraturan pelonggaran loan to value (LTV). Aturan ini diprioritaskan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan aturan ini, besaran uang muka (down payment/DP) kredit pemilikan rumah (KPR) dimungkinkan hingga 0%.

Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan pelonggaran syarat uang muka KPR dengan membebaskan perbankan untuk memberikan besaran maksimum nilai kredit (loan to value/LTV) pembelian rumah pertama.

Dengan demikian, perbankan tidak terikat aturan pemberian besaran uang muka oleh nasabah. Perbankan bisa mensyaratkan pembayaran uang muka, termasuk kemungkinan uang muka 0% (nol persen), tergantung hasil penilaian manajemen risiko bank.

"Kita berikan pelonggaran aturan first time buyer, bukan DP 0%. Kita serahkan ke manajemen bank," ujarnya. 

Sebelum revisi peraturan LTV ini, BI mengatur besaran LTV atau kredit pembelian rumah tahap pertama yang luasnya di atas 70 meter persegi, adalah 85% dari total harga rumah.

Dengan demikian, di peraturan sebelumnya, kreditur atau pembeli rumah harus bisa membayar uang muka (down payment) sebesar 15%. Setelah pelonggaran LTV ini, BI meniadakan atau menghapus syarat besaran LTV yang diberikan bank kepada nasabah untuk rumah pertama.

Selain memperbolehkan uang muka 0%, BI juga memperlonggar jumlah fasilitas kredit melalui inden menjadi lima fasilitas pembelian rumah dan juga mempermudah pencairan kredit secara inden.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pelonggaran LTV ini, untuk meningkatkan pembelian rumah pertama dan juga rumah kedua untuk investasi. Dia juga menegaskan pelonggaran LTV ini tidak akan membuat harga sektor properti semakin menggelembung (bubble).

Sebagian masyarakat mungkin bersorak gembira atas kebijakan ini termasuk pengembang. Director Daiwa House Ichiki Nobuya mengatakan Indonesia sangat menarik bagi investor asing terutama yang berasal dari Asia. Dengan pertumbuhan penduduk dan produk domestik bruto yang stabil setiap tahunnya, Indonesia menjadi pasar yang menjanjikan bagi para pengembang.

“Di samping itu, pembangunan infrastruktur dan sistem transportasi yang masif juga membuat aksesibilitas semakin terjamin,” kata Ichiko saat ditemui Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Untuk itu, Daiwa House dan Japan Overseas Infrastructure Corporation menggandeng Trivo Indonesia menggarap proyek hunian terpadu Sakura Garden City di Jakarta Timur.  Proyek ini akan menjadi transit oriented development (TOD) yang bakal terintegrasi dengan stasiun LRT Ciracas. Sakura Garden City mencakup 5.000 apartemen dan menyasar konsumen milenial dengan pendapatan lebih dari Rp 5 juta per bulan.

Sementara, Ichiki menilai kebijakan pemerintah untuk memberi berbagai kemudahan seperti pelonggaran LTV bisa membuka peluang bagi seluruh masyarakat untuk mengakses hunian. “Kalau dibarengi lagi dengan interest rate yang menarik pasti akan menjadi nilai tambah,” katanya.

DP 1% BTN

Dihubungi secara terpisah, Director Consumer Banking PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Budi Satria menyatakan kebijakan relaksasi LTV oleh BI ini merupakan salah satu insentif yang diperlukan perbankan suapaya bisnis properti dan kredit pemilikan rumah (KPR) di tanah air bisa tumbuh lebih baik lagi. 

Budi memastikan BTN siap menerapkan pembayaran down payment (DP) 1% untuk KPR komersial pada Agustus 2018. Sistem ini sebelumnya sudah diterapkan untuk KPR untuk rumah bersubsidi. Meski pelonggaran LTV memungkinan besaran uang muka sampai 0%, Budi mengatakan BTN akan tetap menerapkan sistem ini.

“DP 0% itu relaksasi maksimal yang diberikan oleh BI, kemudian diserahkan kepada pertimbangan masing-masing bank. Kami sendiri mungkin akan mengenakan DP 1%, Insya Allah per Agustus,” kata dia saat dihubungi Alinea.id dari Jakarta, Jumat (6/7).

Terlepas dari itu, kata Budi ada banyak faktor lain di luar LTV yang harus menjadi perhatian bersama seluruh pemangku kepentingan di sektor properti. Hal itu antara lain kecepatan dan kemudahan dalam pengurusan legalitas usaha/legalitas lahan dan perijinan lainnya dalam bidang properti. 

Sementara itu, BTN memproyeksikan pertumbuhan KPR sebesar 23% di tahun ini. Sementara angka kredit macet atau non performing loan (NPL) diharapkan di bawah 3% atau sebesar 2,38% tahun ini.

“Dengan berbagai relaksasi yang diberikan Bank Indonesia, tidak akan mengurangi tingkat kehati-hatian kami, sehingga kami optimis target NPL tahun ini sebesar 2,38% akan dapat dicapai,” kata dia.

Perumahan murah (Facebook).

Masih tumpul

Senior Associate Director Investment Services Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi mengatakan kebijakan pelonggaran loan to value (LTV) merupakan regulasi yang tumpul dalam mengatasi persoalan hunian. Aldi mengatakan masyarakat kesulitan mengakses hunian karena harga properti yang terus naik setiap tahun. Untuk itu diperlukan berbagai kondisi ekonomi dan insentif yang beragam.

“Sebaiknya suku bunga juga dijaga. Sehingga yang ideal adalah uang muka rendah dan suku bunga juga rendah,” katanya. 

Aldi mengatakan kesulitan konsumen saat ini bukan hanya dalam hal menyediakan uang muka, melainkan juga membayar cicilan per bulan. Menurut Aldi, untuk mencapai besaran cicilan yang rendah, tenor juga harus diperpanjang.

Sementara, Ferry Salanto mengatakan Pelonggaran LTV belum banyak berdampak pada pembelian hunian vertikal atau apartemen. Ferry mengatakan pelonggaran LTV memang baik di awal untuk menarik minat konsumen. Namun, jika tidak dibarengi dengan penurunan suku bunga, maka kebijakan terus tidak akan berdampak signifikan.

Ferry juga mengatakan kebijakan pelonggaran LTV bisa jadi lebih efektif bagi masyarakat menengah ke bawah. Namun, untuk konsumen menengah atas dan para investor, permasalahan yang dihadapi lebih kompleks. Kelas ini menghadapi kondisi pasar yang belum stabil dan sentimen negatif. Selain itu, harga sewa belum membaik serta yield yang didapat masih rendah.

Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan kebijakan Bank Indonesia melonggarkan LTV dimaksudkan untuk menggerakkan sektor properti. Sayangnya, di sektor moneter masih banyak tekanan yang dihadapi seperti nilai tekanan nilai tukar, suku bunga, dan kontraksi moneter.  Dengan demikian, lanjut Piter, pemerintah sebaiknya melakukan kelonggaran moneter yang sifatnya bersifat berkelanjutan (sustain).

“Bank Indonesia harus juga melonggarkan dari sisi operasi moneternya, bukan hanya kebijakan LTV. Karena LTV hanya memberikan kelonggaran, agar sektor penyaluran kredit atau pembiayaan perumahan bisa lancar,” katanya.

Pada akhirnya kebijakan pelonggaran LTV masih seperti pisau yang tumpul jika tidak dipaketkan bersama kebijakan moneter lainnya. 

Berita Lainnya
×
tekid