sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ekonomi Pancasila di Indonesia masih jauh dari cita-cita

Usaha untuk mempraktikkan ekonomi Pancasila di Indonesia masih jauh dari cita-cita yang coba dirumuskan founding father.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Sabtu, 20 Jun 2020 13:53 WIB
 Ekonomi Pancasila di Indonesia masih jauh dari cita-cita

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, mengatakan para sarjana di Indonesia belum sampai pada tahap merumuskan grand theory dalam konsep ekonomi Pancasila.

Sehingga, usaha untuk mempraktikkan ekonomi Pancasila di Indonesia masih jauh dari cita-cita yang coba dirumuskan founding father Republik, yaitu Mohammad Hatta.

"Ekonomi Pancasila itu kita belum sampai pada grand teori. Itu kan konsep Hatta. Tetapi siapa sekarang yang mengikuti Hatta dengan benar? Saya kira kita mencoba, tetapi masih jauh," kata Monoarfa dalam diskusi buku Ekonomi Pancasila Dalam Pusaran Globalisasi di IPB via daring, Sabtu (20/6).

Meski sempat ramai diperdebatkan oleh sarjana Indonesia di era 60an hingga 80-an seperti Emil Salim, Mubyarto, dan Dawam Rahardjo, kata dia, namun konsep ekonomi Pancasila masih sebatas mencari rumusan.

"Kita sudah berusaha mempraktikannya dalam kehidupan kebangsaan, namun masih belum dapat satu rumusan. Kita bergantung kepada sarjana untuk bisa mengenalkan itu," ujarnya.

Lebih lagi, lanjutnya, di era pascareformasi, konsep tentang ekonomi Pancasila jauh dari perdebatan sarjana kiwari. Padahal, konsep tersebut lahir dari para pemikir dalam negeri untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi dan politik sekaligus.

Apalagi, pemikiran Hatta sebagai salah seorang yang menginspirasi para sarjana setelahnya terkait konsep ekonomi Pancasila tidak banyak mendapat tempat di dalam fakultas-fakultas ekonomi di Indonesia. 

Sehingga, konsep tersebut, menurut Monoarfa, jauh dari pembelajaran sarjana-sarjana muda di Indonesia. "Saya kira Hatta adalah bapak bangsa yang belum mendapatkan tempat yang pas di tengah masyarakat muda kita, bahkan pada fakultas ekonomi," ucapnya.

Sponsored

Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan hal yang senada. Ia menyampaikan bukti dari belum terimplementasinya dengan baik konsep ekonomi Pancasila di dalam negeri adalah masih bergantungnya Indonesia kepada impor.

"Kita belum berdaulat secara ekonomi. Indonesia dihadapkan pada sejumlah harga pokok pertanian impor terutama komoditas pangan lebih murah dari harga produk dalam negeri," ujarnya.

Ketergantungan Indonesia dengan impor dimulai sejak era 80-an dan terus meluas sejak diberlakukannya perdagangan bebas dengan sejumlah negara di dunia.

Bahkan, Indonesia menjadi negara importir terbesar gula di dunia. Dia mengatakan Indonesia mengimpor gula 4,5 juta ton setiap tahunnya, lebih tinggi dibandingkan dengan impor gula China yang sebesar 4,2 juta ton.

"Padahal penduduk kita hanya 270 juta, sedangkan China penduduknya 1 miliar, tetapi kita menjadi importir terbesar," ujar Bambang.

Lebih lagi, Indonesia juga menjadi importir garam di tengah kondisi geografis Indonesia yang lebih dari 70%-nya adalah pesisir.

"Indonesia selalu mengimpor 1,5 juta ton garam. Lebih dari 50% kebutuhan garam padahal Indonesia 70% laut. Juga kedelai, kacang tanah, bawang, daging sapi nasional, susu, buah dan sayur," ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid