sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Era transaksi digital yang menyisakan problem

Bank Indonesia mencatat, sejak 2016 transaksi keuangan secara elektronik di Indonesia menunjukkan peningkatan.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 01 Mar 2019 11:22 WIB
Era transaksi digital yang menyisakan problem

Sore itu, sebuah kedai kopi di dalam kompleks Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, ramai pelanggan. Beberapa orang masih asyik mengobrol. Sebagian lainnya melakukan transaksi pembayaran. Kebanyakan pelanggan membayar dengan uang tunai.

Pengelola kedai kopi itu, Jerusalem, mengatakan pelanggan kedainya memang sedikit yang bertransaksi lewat layanan digital.

“Kecuali yang pesan-antar pakai Gojek atau Grab, mereka bayarnya enggak tunai. Tapi kalau yang minum di tempat, lebih banyak bayar tunai,” kata Jerusalem saat ditemui di kedai kopi yang dikelolanya, Rabu (26/2).

Bila pelanggan memilih bertransaksi memanfaatkan layanan digital di kedai kopi itu, menurut Jerusalem, ada beberapa fasilitas yang bisa digunakan, seperti Go-Pay, OVO, DANA, Aku Laku, dan T-Cash.

Sedangkan di warung makan yang ada di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, sebagian besar menyediakan pembayaran secara elektronik, dengan aneka layanan. Fasilitas ini tersedia, karena imbauan pengelola koperasi pengusaha warung makan. Setiap warung makan memang diwajibkan membuka pelayanan pembayaran elektronik.

Meski demikian, salah seorang pengelola warung makan Silalahi mengatakan, kebanyakan pelanggannya masih membayar secara tunai. Ia juga tak sepakat dengan pembayaran secara digital.

Bagi Silalahi, pembayaran tunai lebih menguntungkan karena pemasukan menjadi lebih mudah dikelola dan dapat segera dipakai belanja bahan makanan. Sedangkan pembayaran secara elektronik, Silalahi mengaku harus menunggu hingga seminggu, baru uangnya cair.

Transaksi efisien dan praktis

Meskipun Silalahi tak begitu antusias memanfaatkan transaksi keuangan secara elektronik, faktanya di Indonesia sistem ini sedang berkembang.

Bank Indonesia mencatat, sejak 2016 transaksi keuangan secara elektronik di Indonesia menunjukkan peningkatan. Nilai nominal transaksi uang elektronik pada 2016 sebesar Rp7,06 triliun. Pada 2018, nilainya menembus Rp47,19 triliun.

Sistem ini dikenal dengan teknologi keuangan (financial technology/fintech). Pengembangan teknologi informasi dalam keuangan, memunculkan lini layanan pembayaran elektronik, secara daring.

Data dari Bank Indonesia juga menunjukkan, per 22 Februari 2018, sudah terdaftar sebanyak 36 perusahaan penyedia layanan pembayaran digital. Sebagian merupakan pemain dari sektor perbankan, tetapi tak sedikit pula merupakan perusahaan rintisan.

OVO merupakan salah satu penyedia layanan pembayaran digital ini. Sejak beroperasi pada September 2017, OVO sudah menjangkau 303 wilayah di seluruh Indonesia, dengan mitra usaha sebanyak 500.000 gerai, terdiri dari swalayan, kedai kopi, dan bioskop.

CEO DANA Vincent Iswara (tengah) menyaksikan pengunjung menerima penjelasan mengenai cara pendaftaran Dompet Digital DANA pada peresmian Gerakan UMKM Go Online, di Jakarta, Selasa (26/2). (Antara Foto).

Direktur OVO Harianto Gunawan memaparkan, kemunculan OVO sebagai solusi pembayaran berbasis digital dapat mengurangi beban peredaran uang tunai, dan mendorong masyarakat terlibat aktif dalam ekonomi digital yang telah dicanangkan pemerintah.

“OVO mendukung upaya pemerintah menjalankan gerakan nasional non-tunai. Itu adalah akselerator perkembangan ekonomi digital,” kata Harianto saat dihubungi, Kamis (28/2).

Pemerintah memang telah mencanangkan perekonomian terbuka secara digital melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Insklusif (SNKI).

Pasal 1 ayat 2 menyebutkan, SNKI adalah strategi nasional yang dituangkan dalam dokumen yang memuat visi, misi, sasaran, dan kebijakan keuangan inklusif dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antarindividu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Beragam fasilitas keuangan disediakan OVO. Selain pembayaran, penggunaannya dapat melakukan transfer, pengisian pulsa, penarikan uang, pengelolaan aset, dan investasi. Hal ini dimungkinkan pula dengan jaringan meluas yang terhubung dengan OVO, yaitu perbankan, swalayan, gerai OVO, serta pengemudi Grab.

Layanan pembayaran elektronik lainnya adalah DANA. DANA didirikan sebagai perusahaan rintisan berbasis teknologi yang melayani kebutuhan pembayaran fleksibel, mudah, dan efisien.

Kepala Staf Komunikasi DANA Chrisma Albandjar mengatakan, salah satu kondisi yang melatarbelakangi kehadiran DANA adalah pertumbuhan jasa pembayaran yang sangat lambat, serta tak sebanding dengan pertumbuhan ponsel pintar dan akun bank.

“Selain itu, sebaran layanan perbankan pun masih terbatas,” kata Chrisma ditemui di kantor DANA, Jakarta, pekan lalu.

Peralihan medium dari dompet fisik menjadi dompet digital yang diperkenalkan DANA hadir berdiri sendiri dalam bentuk aplikasi dan perangkat. Kedua medium ini terintegrasi langsung pada platform merek produk barang dan jasa rekanan DANA, yaitu Tix ID, BBM, Ramayana, dan Bukalapak.

Seperti halnya OVO, DANA memungkinkan transaksi keuangan dengan efisien lewat beberapa fitur, antara lain pembayaran, transfer antarakun DANA, dan pembelian pulsa atau pembayaran tagihan.

Menekan ongkos pencetakan uang

Menurut pakar teknologi telekomunikasi Alexander Rusli, pertumbuhan lini usaha pembayaran digital menunjukkan tren yang akan semakin masif. Melalui transaksi tanpa uang tunai, ongkos yang dikeluarkan negara untuk pencetakan dan distribusi uang kertas dan logam dapat dikurangi.

Namun, kata Alexander, pembayaran elektronik tak dimaksudkan sepenuhnya untuk menggantikan transaksi tunai.

“Digital payment ini umumnya lebih relevan dijalankan untuk ranah pembayaran dalam nominal kecil atau angka sulit (micropayment), misalnya Rp1.740. Tetapi tidak menggantikan pembayaran tunai untuk pembayaran dalam jumlah lebih besar,” ujar Alexander ketika dihubungi, Kamis (28/2).

Selain itu, menurutnya, cara pembayaran digital juga bersifat aman, terutama dalam menekan peluang peredaran uang palsu. Meski demikian, dia menyadari geliat transaksi elektronik di Indonesia akan kian meningkat, sejalan pertumbuhan perangkat teknologi informasi dan ketertarikan masyarakat untuk menggunakannya.

Salah satu layanan transaksi digital yang tersedia di sebuah warung makan di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. (Alinea.id/Robertus Rony Setiawan).

“Masyarakat tergiur oleh potongan-potongan harga yang ditawarkan platform-platform pembayaran elektronik itu,” kata Alexander.

Di sisi lain, Harianto Gunawan melihat, meski sebagian masyarakat (48,9%) memiliki akun bank, transaksi dengan uang tunai mencapai 90% dari seluruh transaksi di Indonesia. Padahal, kata dia, transaksi dengan uang tunai cukup memboroskan alokasi uang negara.

“Berdasarkan laporan lembaga keuangan McKinsey, kehadiran uang tunai dinilai sangat mahal karena menyumbang 1,5% PDB (produk domestik bruto) ekonomi Indonesia. Maka mengatasi pemborosan dalam ekonomi ini menjadi sebuah tantangan yang besar,” tuturnya.

Hambatan

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menjelaskan, ceruk industri pembayaran digital akan semakin luas.

Nailul optimistis, seiring pengembangan dan pembaruan teknologi, pembayaran digital akan semakin memudahkan transaksi keuangan melalui ponsel pintar.

Kondisi tawaran potongan harga dan perang tarif antarpenyedia platform juga menjadi keuntungan dan daya tarik konsumen. Di sisi lain, bagi perusahaan pembayaran digital, akan membuka peluang lebih besar untuk memperoleh kucuran dana investor.

Fasilitas layanan transaksi digital memudahkan seseorang dalam bertransaksi. Namun, masih ada sejumlah masalah.

“Valuasi nilai ekonomi perusahaan digital payment menjadi penilaian penting bagi investor. Perusahaan di pasar industri ini akan terus bertambah,” tuturnya ketika dihubungi, Kamis (28/2).

Namun, menurutnya, masih ada hambatan dari segi penerapan perangkat teknologi. Pertama, masih banyak masyarakat yang terbiasa membawa atau menggunakan uang tunai. Kedua, ketersediaan perangkat teknologi, terutama sinyal internet, masih timbul-tenggelam.

Berita Lainnya
×
tekid