sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Faisal Basri: SDM dan teknologi kunci lolos dari middle income trap

Kunci keluar dari middle income trap yakni akses pendidikan dan manufaktur berteknologi tinggi.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Selasa, 10 Des 2019 19:10 WIB
Faisal Basri: SDM dan teknologi kunci lolos dari middle income trap

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyebut ada dua indikator utama yang bisa mengeluarkan negara dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap. Kedua indikator tersebut yaitu akses kepada pendidikan atau sekolah (school enrollment ratio) dan produk manufaktur berteknologi tinggi.

"Indikator-indikatornya sederhana tapi dia bicara banyak hal di balik itu," katanya di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (10/12).

Faisal menjelaskan, berdasarkan observasi selama 100 tahun, negara-negara yang lolos dari jebakan middle income dapat dilihat dari pencapaian dua hal tersebut.

Dari sisi school enrollment ratio, Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain bahkan di ASEAN. 

Berdasarkan data World Development Indicators database yang dikeluarkan World Bank pada 2017, keterdaftaran penduduk Indonesia pada pendidikan menengah baru sebesar 87,1%, sedangkan pada pendidikan tinggi hanya 36,4%

"Kita jelek sekali. Untuk jadi negara maju harus 100% secondary-nya, tertiary 70%. Kita baru 87% secondary dan tertiary 36%. Ini yang berat," ujarnya.

Selain itu, berdasarkan ranking Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA), peringkat Indonesia hanya berada di urutan 72 dari 77 negara. Peringkat membaca di Indonesia hanya 371, pemahaman matematika 379, dan pemahaman ilmu pengetahuan 396. Terburuk kedua setelah Filipina.

Menurut Faisal, semua indikator ini bermuara pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia dan menunjukan seberapa efisien anggaran yang sudah dialokasikan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Sponsored

"Saya berharap anggaran bisa menjawab ini, ada beberapa yang bisa diefisienkan. Tadi Pak Chatib juga udah bilang belanjanya tidak berkualitas, Rp 60 triliun hilang sia-sia," ujarnya.

Padahal, katanya, indikator untuk pendidikan hanya tingkat kefasihan membaca, tingkat pemahaman ilmiah, tingkat kecakapan matematis, dan tingkat kemampuan memecahkan masalah. Hanya saja orientasi pendidikan Indonesia tidak mengarah ke sana.

"Reading kita turun terus, matematika masih turun-naik, science juga. Kalau reading turun terus bahkan enggak sekedar turun tapi amblas. Baca saja enggak bisa bagaimana bisa maju," jelasnya.

Untuk itu, lanjutnya, perlu sebuah transformasi anggaran pendidikan dari berbasis input menjadi berbasis output. Dia mengatakan targetnya harus ditentukan terlebih dahulu, bagaimana mencapainya, baru anggarannya berapa.

"Kalau sekarang ditentukan dulu anggarannya 20% dari APBN. Di dunia lain enggak ada yang kayak begitu. Kecuali Taiwan. UUD kok ada angka 20%. Satu-satunya UUD di dunia yang ada angkanya hanya Indonesia. Rusak kita," ucapnya.

Sementara, dari sisi persentase produk hightech terhadap ekspor manufaktur Indonesia terus mengalami penurunan. Sempat mencapai puncaknya pada 2010 sebesar 12%, di 2018 turun menjadi 8%.

Ini menunjukan bahwa produksi barang manufaktur Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Indikator ini juga menerangkan bahwa investasi dalam mendongkrak industri manufaktur tumbuh ke bawah.

Sedangkan, perkembangan teknologi terus bergerak cepat, namun produksi industri manufaktur Indonesia terus melambat dan terlihat pada indikator yang dirilis oleh Bank Dunia tersebut.

"Ya kita most likely akan terjebak middle income trap. Dan sakitnya trennya turun, kita pernah 12% sekarang 8%. Artinya ada yang salah dalam perjalanan hidup bangsa ini. kok jadi begini. Ciri-cirinya kita menjadi mundur," tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid