sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Genjot kredit, BI longgarkan batas RIM jadi 84%-94%

Bank Indonesia resmi menaikkan batas Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80%-92% menjadi 84%-94% mulai 1 Juli 2019.

Soraya Novika
Soraya Novika Senin, 01 Apr 2019 20:53 WIB
Genjot kredit, BI longgarkan batas RIM jadi 84%-94%

Bank Indonesia resmi menaikkan batas Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80%-92% menjadi 84%-94% mulai 1 Juli 2019.

Keputusan ini tercantum dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/5/PADG/2019 tentang perubahan ketiga atas PADG Nomor 20/11/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS). 

Dengan begitu, batasan perbankan dalam menyalurkan kredit dengan memanfaatkan pendanaan yang didapat menjadi lebih longgar. Bila sebelumnya RIM perbankan sudah mencapai 92%, maka seharusnya perusahaan menahan kredit agar kesehatan keuangan tetap terjaga. 

Kini, bagi perbankan yang RIM-nya sudah mencapai 92% masih bisa menyalurkan kredit karena batasannya ditingkatkan menjadi 94%. Hal itu berlaku bagi bank konvensional dan syariah. 

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Linda Maulidina menjelaskan tujuan dari dirilisnya kebijakan ini adalah guna meningkatkan penyaluran kredit sehingga bisa berkontribusi secara signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Langkah ini dinilai lebih efektif dalam menggenjot pertumbuhan kredit perbankan, dibandingkan dengan upaya lain, misalnya penurunan suku bunga acuan.

"Karena kan, kalau (penurunan) suku bunga itu kebijakan moneter, sementara ini terkait aspek stabilitas. Lebih efektif mana? Kalau kami melihat, pendekatan RIM lebih ke banknya," ujar Linda di Gedung BI, Jakarta Pusat, Senin (1/4).

Linda optimistis, langkah ini juga dapat turut mendorong perbankan dalam hal meningkatkan pembiayaan, yang tidak hanya melalui kredit melainkan juga melalui mekanisme penerbitan obligasi. Meskipun, saat ini belum banyak korporasi yang menerbitkan obligasi guna memperoleh pendanaan, karena pada umumnya mereka masih menggunakan mekanisme penarikan kredit.

Sponsored

Namun, Linda memastikan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, model ini akan semakin marak menjadi alternatif pembiayaan dengan risiko yang cukup minim dibandingkan penyaluran kredit konsumen sebagaimana yang selama ini menjadi tumpuan bagi pertumbuhan kredit perbankan.

"Dengan upaya ini, kami yakin bahwa pertumbuhan kredit pada 2019 ini, akan mampu mencapai kisaran 10%-12%," ujarnya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan kredit perbankan berhasil mencapai 12,45% sepanjang 2018. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya yang hanya berkisar 8%. Untuk itu, OJK bersama BI sejak awal tahun optimistis dengan target di atas 12% dapat dicapai sepanjang 2019 ini.

Berita Lainnya
×
tekid